Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia
Reformasi Peradilan:

Siapa Bilang Yurisprudensi Tak Penting Bagi Hakim Indonesia

Yurisprudensi adalah sumber hukum yang sangat penting bagi hakim. Undang-Undang menyebut pentingnya kemerdekaan hakim dalam memutus perkara.

Oleh:
Moh. Dani Pratama Huzaini
Bacaan 2 Menit

 

Apakah semua Hakim Agung akan mentaati keputusan hasil rapat pleno kamar? Syarfuddin menggambarkan, para Hakim Agung yang sudah menyepakati hasil pleno kamar dalam perjalannya pun ternyata seringkali menyampaikan pandangan yang berbeda dalam pengambilan keputusan. Hal ini dimungkinkan oleh Undang-Undang yang mengatur ketentuan dissenting opinion. “Alasan dissenting harus termuat di dalam putusan itu dan kita bisa baca,” terang Syarifuddin.

 

Hal-hal seperti ini kemudian diamati dalam waktu 1 tahun berjalan. Adakah perkembangan atau kasus-kasus hukum baru yang harus pecahkan, atau mungkin perbedaan pendapat yang sebelumnya ada telah mengerucut sehingga dapat diperbaiki melalui keputusan-keputusan pleno kamar di tahun berikutnya. “Jadi forumnya hanya pada rapat pleno kamar yang setahun sekali, bukan ketika memutus perkara serupa,” terang Syarifuddin saat menjelaskan mekanisme penanganan disparitas putusan Hakim Agung.

 

Selanjutnya, terkait penanganan terhadap kasus yang serupa dengan putusan yang pernah ada sebelumnya di MA. Hakim MA terikat kepada sistem kamar. Di dalam sistem kamar, terdapat ketentuan apabila akan membatalkan putusan kasasi atau putusan lain yang inkracht, sedang di antara hakim tidak bulat pendapatnya maka harus dibawa ke pleno kamar.  Jadi tidak langsung merujuk ke putusan yang sebelumnya melainkan terlebih dahulu dibawa ke pleno kamar untuk diberikan pandangan.

 

(Baca juga: MA dan MA Belanda Perpanjang Kerja Sama Fokus Pengembangan Sistem Kamar)

 

Yang perlu diperhatikan, rapat pleno kamar di sini hanya untuk memberi pandangan dan pendapat, pada akhirnya putusan itu tetap berada pada majelis. Kalau majelis berbeda pendapat maka kembali ke mekanisme yang mayoritaslah yang menjadi putusannya. “Nah mekanisme ini berjalan, jadi kenapa tidak langsung merujuk ke yang sebelumnya? Karena kasus itu walaupun sama tidak ada yang serupa,” terang Syarifuddin.

 

Masalah ini pernah diteliti Arsil. Peneliti Lembaga Kajian dan Advokasi Independen Peradilan (LeIP) ini menjelaskan bahwa seringkali dalam kasus yang tidak serupa karena fakta dan peristiwanya yang berbeda, namun pertanyaan hukumnya cenderung sama. Misalnya, apakah kasasi bisa mengubah hukuman? Mengenai berat ringannya hukuman, Arsil menyebutkan belum adanya yurisprudensi yang mengatur terkait hal ini. Namun dalam praktiknya, kemudian berbeda-beda. Ada majelis yang memutus bisa memberatkan atau meringankan, dan ada majelis yang memutus tidak bisa. Artinya di kasus-kasus yang berbeda bisa jadi ada pertanyaan hukum yang sama. “Hal ini akan berdampak (pada kepastian hukum) walaupun tidak satu-satunya,” ujar Arsil.

 

Syarifudin menekankan perbedaan antara Indonesia dan Belanda. Di Belanda, ketika akan mengubah pidana yang akan dijatuhkan, apabila berkaitan dengan fakta maka dikembalikan ke judex facti tidak diputus oleh judex juris. “Tapi mungkin ada bedanya dengan kita,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait