Sita Pidana dan Sita Umum Kepailitan, Mana yang Harus Didahulukan?
Utama

Sita Pidana dan Sita Umum Kepailitan, Mana yang Harus Didahulukan?

Untuk perkara tipikor ‘luar biasa’ yang merugikan negara hingga puluhan triliunan rupiah, sita pidana harus didahulukan dari sita kepailitan karena menyangkut uang rakyat. Konsep mendahulukan sita kepailitan dibanding sita pidana tidak dapat digeneralisir.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

Ketua Umum Asosiasi Kurator Indonesia (AKPI), Jimmy Simanjuntak, menyampaikan pandangan berbeda. Jimmy menyebut persoalan PKPU dan kepailitan bukanlah sekedar ranah privat yang hanya mengedepankan kepentingan pelaku usaha. Nyatanya kepailitan justru tetap mengedepankan kepentingan negara lewat pajak yang berstatus sebagai kreditur preferen.

“Pajak bisa masuk dalam proses pailit artinya negara hadir diwakilkan pajak untuk menagih haknya. Sita umum bukan untuk memenuhi kepentingan satu pihak dengan pihak lain, nggak sepakat kalau dilihat dari konteks UU Kepailitan dasarnya bahwa hukum privat. Jangan salah di dalam UU Kepailitan Pasal 93 itu sangat jelas bunyinya di sana setelah dinyatakan pailit pengadilan ataupun kurator dapat memerintahkan debitur untuk ditahan, biaya penahanan dibebankan kepada kepailitan,” kata Jimmy pada acara yang sama.

Dalam konteks ini Jimmy menegaskan bahwa utang didasarkan pada perjanjian dan UU. Ketika satu putusan pengadilan tipikor menyatakan terdakwa terbukti melakukan tipikor dan merugikan keuangan negara, maka setelah putusan berkekuatan hukum tetap dan secara UU negara memiliki hak untuk menuntut recovery.

Jika perkara pidana dan pailit berjalan secara bersamaan, pembagian harta dapat dilakukan secara sita umum oleh kurator. Sita umum bisa dilakukan setelah proses penyidikan dan penuntutan, dan kemudian pengelolaan dan pemberesan dilakukan kurator. Jimmy menilai apabila negara memiliki tagihan atas perkara pidana, maka negara dapat memasukkan tagihan tersebut kepada kurator dalam proses kepailitan.

“Tagihan negara ini suatu bentuk diskursus. Saya melihat perkara berdasarkan praktek. Proses persidangan penuntutan dan hukum tetap itu tidak memberikan suatu manfaat terhadap proses kepailitan itu sendiri, ketika dasar utang adalah UU maka ketika negara memiliki hak untuk meminta pengembalian kerugian negara maka kreditur menagih kepada kurator, sama dengan pajak. Ketika ada kreditur dengan hak mendahului maka dia punya hak mendahului, negara tagihannya sama dengan pajak, kreditur preferen yang didahulukan. Ini menjadi diskursus, sehingga tidak hanya berdebat mana yang didahulukan tapi memberikan konklusi,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait