Soal Transportasi Berbasis Aplikasi, Pemerintah Diminta Benahi Aturan
Berita

Soal Transportasi Berbasis Aplikasi, Pemerintah Diminta Benahi Aturan

Bukan malah memblokir dan melarang keberadaannya. Beberapa negara telah menyusun regulasi transportasi berbasis aplikasi, Indonesia bisa mencontohnya.

Oleh:
RIA
Bacaan 2 Menit
Kantor salah satu penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi, Grab Taxi di Jakarta. Foto: RES
Kantor salah satu penyedia jasa transportasi berbasis aplikasi, Grab Taxi di Jakarta. Foto: RES
Pemerintah diminta untuk membenahi kerangka hukum demi memfasilitasi transportasi berbasis aplikasi. Permintaan tersebut datang dari Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK). Tujuannya, agar keberadaaan layanan transportasi berbayar yang menggunakan kendaraan pribadi ini tak lagi menjadi kontroversi di masyarakat.

Dorongan yang disampaikan PSHK itu tertuang dalam rilis yang diterima hukumonline, Selasa (15/3). Pernyataan PSHK ini terpicu dari surat Kementerian Perhubungan (Kemenhub) kepada Menteri Komunikasi dan Infomatika (Menkominfo) perihal permohonan pemblokiran aplikasi pemesanan angkutan yang akhirnya menimbulkan beragam reaksi dari masyakarat.

Dalam surat Nomor: AJ 206/1/1 PHB 2016 yang dikeluarkan tanggal 14 Maret 2016 itu, Kemenhub yang dinahkodai Ignasius Jonan meminta Menkominfo untuk memblokir aplikasi pemesanan angkutan Uber Asia Limited (Uber Taxi) dan PT Solusi Transportasi Indonesia (Grab Car). Menhub beralasan karena keduanya telah menyalahi aturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.

“Munculnya surat Menteri Perhubungan kedua, yang menyertakan dasar-dasar hukum, menegaskan bahwa regulator tersebut menganggap transportasi berbasis aplikasi adalah ilegal. UU No. 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan Peraturan Pemerintah No. 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan belum memfasilitasi pengaturan transportasi berbasis aplikasi,” tulis PSHK.

Namun, meskipun demikian, PSHK mengatakan bahwa Kemenkominfo sebaiknya tidak memblokir layanan Grab dan Uber atau melarang moda transportasi ini karena keberadaan keduanya diperlukan masyarakat. “Kehadiran transportasi berbasis aplikasi ini diperlukan masyarakat mengingat sistem transportasi Indonesia yang masih belum optimal berbenah diri,” tulis PSHK.

Presiden Joko Widodo sebelumnya juga pernah menyampaikan hal serupa. Transportasi berbasis aplikasi seperti halnya Go-Jek dan ojek-ojek online lainnya ada karena besarnya kebutuhan masyarakat. Presiden Jokowi mengingatkan, jangan karena adanya sebuah aturan maka ada yang dirugikan, ada yang menderita.

Akhir tahun 2015 lalu, alasan di atas pula lah yang menjadi dasar Presiden Jokowi mencabut surat yang dikirimkan Ignasius kepada Kapolri yang mengimbau agar aparat kepolisian dapat menindak tegas para pengendara transportasi berbasis aplikasi. Ignasius pun akhirnya mempersilahkan seluruhnya tetap beroperasi.

“Ojek dan transportasi umum berbasis aplikasi dipersilakan tetap beroperasi sebagai solusi sampai transportasi publik dapat terpenuhi dengan layak,” ujar Jonan dalam siaran pers, Jumat (18/12).

Untuk itu, di momen kedua surat pelarangan transportasi berbasis aplikasi ini, PSHK berharap pemerintah dapat merevisi UU Nomor 22 Tahun 2009 tentang Lalu lintas dan Angkutan Jalan dan PP Nomor 74 Tahun 2014 tentang Angkutan Jalan dan memasukkan pengaturan transportasi publik berbasis aplikasi.

PSHK menyebutkan, pemerintah Indonesia dapat melihat dan mencontoh kebijakan yang telah dilakukan di Negara Bagian California (Amerika Serikat), Negara Bagian New South Wales (Australia), Kota Canberra (Australia), Edmonton (Kanada), dan Malaysia dalam mengakomodir pengaturan tranportasi berbasis aplikasi ini.

“Inisiatif mereka perlu menjadi perhatian dan dicontoh oleh Indonesia,” sebut PSHK dalam rilisnya.
Tags:

Berita Terkait