Mengenal Sosok 4 Pionir Hakim Administrasi di Indonesia
Utama

Mengenal Sosok 4 Pionir Hakim Administrasi di Indonesia

Biarlah kenangan-kenangan sejak dari Paris sampai sekarang menjadi bagian yang sudah dalam riwayat kehidupan para pionir hakim administrasi, yang sekarang sudah memasuki masa purnabakti juga. From Paris begins our victory!

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 8 Menit

Ketika PTUN mulai beroperasi pada 1991, Benjamin ditunjuk menjadi Ketua PTUN Surabaya (1991-1993). Dari Surabaya, Benjamin dipromosikan untuk memimpin PTUN Jakarta. Pada 1996, ayah dua anak ini kembali mendapat promosi menjadi hakim tinggi di PTTUN Medan. Dua tahun di kota Medan, Benjamin kembali ditarik ke Jakarta, sebagai hakim tinggi PTTUN (1998).

Ketokohannya diakui publik. Buktinya, setelah pensiun, pada tahun 1999 Benjamin diangkat menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Asasi. Tugasnya tidak mudah, antara lain melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat di Timor Timur (kini, Timor Leste). Ia juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan Pers.

Ketika menjadi hakim TUN, nama Benjamin mencuat karena di tengah represi Orde Baru, ia berani memutuskan membatalkan pencabutan SIUPP Tempo. Putusan itu telah membuat Benjamin menjadi ‘sasaran’, seperti informasi yang ia dengar dari banyak pihak. Putusannya tentang kasus Tempo bukan hanya mendapatkan pujian dari dalam negeri dan luar negeri, tetapi juga sebaliknya sinisme termasuk dari petinggi di Mahkamah Agung.

“Saya sendiri tidak menyangka bahwa putusan kami tersebut akan mendapat perhatian nasional maupun internasional. Banyak yang bertanya kepada saya,” kenang Benjamin dalam biografinya. “Namun putusan yang kami ambil adalah sesuai dengan naluri kami sebagai hakim yang profesional,” sambungnya.

Meskipun sudah pensiun sebagai hakim tinggi pada 1998, kesempatannya untuk menjadi hakim terbuka ketika politik hukum pemerintah dan DPR memperbolehkan hakim non-karir masuk Mahkamah Agung. Benjamin termasuk salah satu yang lolos, dan diangkat menjadi hakim agung pada 2001. Di sini ia kembali bertemu dengan Paulus Effendi Lotulung, koleganya yang pernah sama-sama mengemban pendidikan di Perancis.

Di tengah tugas-tugasnya sebagai hakim, beberapa kali Benjamin menyempatkan diri menjadi tenaga pengajar. Bukan hanya saat bertugas di Jakarta, tetapi juga ketika masih bertugas di Surabaya dan Denpasar. Pengalamannya selama 34 tahun menjadi hakim menjadi bekal berharga bagi Benjamin memberikan materi kuliah. Tugas yang dijalaninya hingga pensiun. Dan, ia telah menggoreskan tinta sejarah di dunia peradilan di Indonesia.

Sejak lama ia sudah bercita-cita menjadi hakim, mengikuti jejak keluarga, khususnya kakeknya. Karena pada saat itu tidak sulit menjadi hakim, Benjamin langsung datang ke Mahkamah Agung, mengajukan lamaran. Pada 5 Mei 1967, ia resmi dilantik sebagai hakim oleh R. Koesbandono, Ketua Pengadilan Negeri Rangkasbitung.

Tags:

Berita Terkait