Mengenal Sosok 4 Pionir Hakim Administrasi di Indonesia
Utama

Mengenal Sosok 4 Pionir Hakim Administrasi di Indonesia

Biarlah kenangan-kenangan sejak dari Paris sampai sekarang menjadi bagian yang sudah dalam riwayat kehidupan para pionir hakim administrasi, yang sekarang sudah memasuki masa purnabakti juga. From Paris begins our victory!

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 8 Menit
Ki-ka: Paulus Effendi Lotulung, Chairani A. Wani, Benjamin Mangkoedilaga, dan Titi Nurmala Siagian. Foto: Istimewa
Ki-ka: Paulus Effendi Lotulung, Chairani A. Wani, Benjamin Mangkoedilaga, dan Titi Nurmala Siagian. Foto: Istimewa

Penggalan kalimat itu ditulis oleh Paulus Effendi Lotulung ketika menceritakan perkembangan sejarah Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN) di Indonesia. Kota Paris di Perancis adalah tempat kenangan para pionir hakim administrasi itu terguratkan. Kenangan itu sudah berlalu puluhan tahun, tetapi masih tetap dikenang di lingkungan PTUN. Yang menggelitik, siapakah yang disebut ‘para pionir hakim administrasi’ yang disinggung dalam penggalan kalimat tadi?

Jika ditelusuri ke beberapa literatur, terbersitlah empat nama hakim yang mengawali pengiriman hakim-hakim Indonesia ke Perancis. Mereka mengemban tugas belajar ke Negeri King Louis itu sebagai bagian dari program persiapan pendirian Pengadilan Tata Usaha Negara. Dalam buku Lintasan Sejarah dan Gerak Dinamika Peradilan Tata Usaha Negara (Peratun), misalnya, disebutkan keempat hakim yang pertama dikirim ke Perancis adalah pionir-pionir hakim administrasi di Indonesia.

Tentu saja, bukan mereka berempat saja yang mengawali beroperasinya PTUN. Ada 54 orang hakim angkatan pertama yang mengikuti penataran sebagai hakim PTUN. Ada sejumlah hakim di Mahkamah Agung dan pejabat Departemen Kehakiman (kini Kementerian Hukum dan HAM) yang ikut andil dalam persiapan sumber daya manusia di lingkungan peradilan ini. Namun ada empat nama hakim yang mengawali tugas belajar ke Institut International d’Administration Publique di Paris. Mereka adalah Paulus Effendi Lotulung, Benjamin Mangkoedilaga, Chairani A. Wani, dan Titi Nurmala Siagian.

Mereka berempat memiliki kenangan mulai belajar bahasa Perancis di Jakarta hingga dikirim pada awal Januari 1976, dan sama-sama mencapai jenjang karir di Mahkamah Agung. Siapa saja empat pionir hakim administrasi tersebut, dan bagaimana pengalaman profesionalnya, Hukumonline merangkumnya dari beberapa sumber. Inilah gambaran ringkas profil mereka.

Paulus Effendi Lotulung

Paulus Effendi Lotulung telah menghadap Sang Pencipta pada 29 Agustus 2013, meninggalkan nama harum di lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara. Ia bukan hanya berhasil sebagai hakim, tetapi juga sebagai pendidik yang dibuktikan dengan gelar profesor yang disandangnya.

Lotulung adalah generasi pertama hakim yang dipersiapkan menggawangi peradilan yang saat itu akan dibentuk. Pada Januari 1976, sepuluh tahun sebelum Undang-Undang Peradilan Tata Usaha Negara disahkan, Lotulung sudah dikirim ke Perancis, bersama tiga orang hakim lain, untuk belajar di Institute International d’Administration Publique, Paris. Pulang sebentar ke Tanah Air, Lotulung kembali ke Perancis dan berhasil memperoleh gelar magister dan doktor dari Universite de Paris I di Sorbonne. Disertasinya berjudul Controle Yuridictionale de l’administration in Indonesie (Kontrol Yuridis terhadap Pemerintahan di Indonesia).

Lotulung lahir di Boyolali, Jawa Tengah, pada 9 Maret 1943. Pendidikan dasar diraih di SD Kristen Orange School Surabaya (1955), SMP Negeri Surabaya (1959), dan Sekolah Hakim dan Djaksa (SDH) jurusan hakim di Malang (1963). Awalnya, Lotulung ingin menjadi guru, dan sempat beberapa bulan di Sekolah Guru Atas (SGA). Namun, ayahnya menginginkan Lotulung menjadi seorang hakim. Dorongan sang ayah akhirnya terwujud.

Setelah lulus SHD, Lotulung bekerja sebagai panitera di Pengadilan Negeri Gresik, Jawa Timur (1967). Sambil bekerja di pengadilan, Lotulung melanjutkan pendidikan ke Universitas Airlangga Surabaya. Setelah lulus dan memperoleh gelar sarjana hukum, Lotulung diangkat menjadi hakim, bertugas di Pengadilan Negeri Ngawi, Jawa Timur. Sebelum berangkat ke Perancis untuk tugas belajar, Lotulung tercatat sebagai Kepala Biro Umum di Pengadilan Tinggi Surabaya (1972-1975). Pada masa itu, pengadilan masih bernaung di dua atap: Departemen Kehakiman (kini Kementerian Hukum dan HAM) dan Mahkamah Agung.

Sepulang dari Paris, Lotulung ditarik ke Mahkamah Agung, menjadi asisten hakim agung. Hanya sebentar bertugas di sini, Lotulung diangkat menjadi hakim di PN Jakarta Pusat. Selama bertugas di Jakarta itulah, ia banyak dilibatkan dalam diskusi dan pembahasan RUU Peradilan Tata Usaha Negara, yang kemudian disahkan menjadi UU No. 5 Tahun 1986. Sembari menjadi hakim, ia terus memperdalam pengetahuannya tentang hukum administrasi negara, khususnya berkaitan dengan peradilan tata usaha negara. Misalnya, mengikuti program spesialisasi hukum lingkungan pada bidang tata usaha negara di Belanda (1990-1991).

PTUN akhirnya resmi beroperasi pada Januari 1991. Sesuai dengan keilmuannya, Lotulung diangkat menjadi hakim di PTUN Jakarta (1991-1993). Ia pernah menjabat wakil ketua di sini, ketika PTUN Jakarta dipimpin oleh temannya alumni Perancis, Benjamin Mangkoedilaga. Pada saat itu, Departemen Kehakiman dan Mahkamah Agung sedang giat-giatnya mempersiapkan hakim-hakim yang akan ditugaskan di PTUN. Mempertimbangkan pengetahuan dan pengalaman, Lotulung diangkat sebagai Kepala Bagian Litbang Mahkamah Agung pada 1995.

Karirnya terus menanjak saat diangkat menjadi hakim tinggi di Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) Jakarta. Pada 1998, Lotulung diangkat menjadi hakim agung, jabatan yang diinginkan oleh setiap hakim. Bahkan ia kemudian dipercaya menjadi Ketua Muda MA Urusan Peradilan Tata Usaha Negara (Udiltun), hingga memasuki waktu purnabakti pada 2013.

Benjamin Mangkoedilaga

Sosok lain yang sangat dikenal publik dari lingkungan Peradilan Tata Usaha Negara adalah Benjamin Mangkoedilaga. Pria kelahiran Garut 30 September 1937 ini termasuk satu dari empat hakim angkatan pertama yang dikirim ke Perancis untuk belajar hukum administrasi.

Dalam biografinya Dari Alun-Alun Timur Rangkasbitung ke Medan Merdeka Utara (2002) Benjamin menceritakan penugasannya ke Paris terasa sangat mendadak. Saat itu ia sedang berlibur ke Jakarta dari tugasnya di Denpasar. Ia menyempatkan diri mampir ke rumah hakim agung Purwata Gandasubrata di Jalan Cik Di Tiro Jakarta Pusat. Kepada Benjamin, tuan rumah menawarkan kesempatan belajar ke Perancis dalam rangka persiapan pendirian PTUN.

Ringkasnya, Benjamin memutuskan mengambil kesempatan itu meskipun posisi sebagai wakil ketua pengadilan negeri sudah di depan mata. Pilihannya tak salah. Sepulang dari Perancis, karirnya sebagai hakim terus menanjak.

Ketika PTUN mulai beroperasi pada 1991, Benjamin ditunjuk menjadi Ketua PTUN Surabaya (1991-1993). Dari Surabaya, Benjamin dipromosikan untuk memimpin PTUN Jakarta. Pada 1996, ayah dua anak ini kembali mendapat promosi menjadi hakim tinggi di PTTUN Medan. Dua tahun di kota Medan, Benjamin kembali ditarik ke Jakarta, sebagai hakim tinggi PTTUN (1998).

Ketokohannya diakui publik. Buktinya, setelah pensiun, pada tahun 1999 Benjamin diangkat menjadi anggota Komisi Nasional Hak Asasi Asasi. Tugasnya tidak mudah, antara lain melakukan penyelidikan atas dugaan pelanggaran HAM berat di Timor Timur (kini, Timor Leste). Ia juga pernah tercatat sebagai anggota Dewan Pers.

Ketika menjadi hakim TUN, nama Benjamin mencuat karena di tengah represi Orde Baru, ia berani memutuskan membatalkan pencabutan SIUPP Tempo. Putusan itu telah membuat Benjamin menjadi ‘sasaran’, seperti informasi yang ia dengar dari banyak pihak. Putusannya tentang kasus Tempo bukan hanya mendapatkan pujian dari dalam negeri dan luar negeri, tetapi juga sebaliknya sinisme termasuk dari petinggi di Mahkamah Agung.

“Saya sendiri tidak menyangka bahwa putusan kami tersebut akan mendapat perhatian nasional maupun internasional. Banyak yang bertanya kepada saya,” kenang Benjamin dalam biografinya. “Namun putusan yang kami ambil adalah sesuai dengan naluri kami sebagai hakim yang profesional,” sambungnya.

Meskipun sudah pensiun sebagai hakim tinggi pada 1998, kesempatannya untuk menjadi hakim terbuka ketika politik hukum pemerintah dan DPR memperbolehkan hakim non-karir masuk Mahkamah Agung. Benjamin termasuk salah satu yang lolos, dan diangkat menjadi hakim agung pada 2001. Di sini ia kembali bertemu dengan Paulus Effendi Lotulung, koleganya yang pernah sama-sama mengemban pendidikan di Perancis.

Di tengah tugas-tugasnya sebagai hakim, beberapa kali Benjamin menyempatkan diri menjadi tenaga pengajar. Bukan hanya saat bertugas di Jakarta, tetapi juga ketika masih bertugas di Surabaya dan Denpasar. Pengalamannya selama 34 tahun menjadi hakim menjadi bekal berharga bagi Benjamin memberikan materi kuliah. Tugas yang dijalaninya hingga pensiun. Dan, ia telah menggoreskan tinta sejarah di dunia peradilan di Indonesia.

Sejak lama ia sudah bercita-cita menjadi hakim, mengikuti jejak keluarga, khususnya kakeknya. Karena pada saat itu tidak sulit menjadi hakim, Benjamin langsung datang ke Mahkamah Agung, mengajukan lamaran. Pada 5 Mei 1967, ia resmi dilantik sebagai hakim oleh R. Koesbandono, Ketua Pengadilan Negeri Rangkasbitung.

“Bertugas di Rangkasbitung memang amatlah sangat mengesankan sebagai putera daerah Banten asli, walaupun sebelumnya tidak pernah bertempat tinggal dan bertugas di sana,” kata Benjamin sebagaimana tertulis dalam biografinya. Nama Benjamin tetap dikenang, meskipun ia telah menghadap Sang Pencipta pada 21 Mei 2015

Titi Nurmala Siagian

Paulus Effendi Lotulung tak melupakan kenangannya bersama hakim lain tugas belajar ke Perancis pada 1976-1977, termasuk dengan Titi Nurmala Siagian. Dalam bukunya Hukum Tata Usaha Negara dan Kekuasaan (2013), Lotulung menulis: “Pendidikan dan pelatihan di Perancis telah memberi andil di dalam menempa dan meningkatkan karya prestasi Ibu Titi Nurmala Siagian sebagai hakim sampai mencapai puncaknya sebagai hakim agung”.

Lotulung melanjutkan: “Selama beberapa tahun menjadi kolega saya di MA, saya tetap respek dan mengagumi sikap-sikap beliau yang toleran tetapi teguh dalam prinsip, kemampuan profesional dan loyalitas pada atasan”. Satu hal lagi yang membuat Lotulung kagum pada koleganya itu: meskipun sudah lama, lebih dari 31 tahun, meninggalkan Paris, Titi Nurmala masih fasih berbahasa Perancis.

Titi Nurmala Siagian termasuk hakim perintis lingkungan PTUN, angkatan I tahun 1990/1991 bersama 53 orang hakim lainnya. Titi lulus dari Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Medan (1966). Setelah lulus kuliah, Titi meniti karirnya sebagai hakim, pada awalnya bertugas sebagai hakim di PN Tebing Tinggi, Sumatera Utara. Beragam pengalamannya sebagai hakim, termasuk ketika ditolak menjadi hakim anggota perkara komando jihad semata karena Titi hakim perempuan.

Dalam buku ‘Indah Pada Waktunya, Biografi R.B.M Siahaan dan Titi Nurmala Siagian’ dimuat foto-foto Titi Nurmala Siagian saat ikut pendidikan di Perancis. Setelah menyelesaikan pendidikan di Perancis dan kembali ke Indonesia, Titi kembali bertugas di tempat semula: Pengadilan Negeri Jakarta Barat-Selatan yang saat itu masih digabung.

Setelah dipecah lagi menjadi lima Pengadilan Negeri di Jakarta, Titi ditempatkan di PN Jakarta Selatan. Ketika suaminya, R.B.M Siahaan, diangkat menjadi Pembantu Gubernur Sumatera Utara, Titi mengajukan surat permohonan pindah tugas mengikuti suami. Permohonan disetujui, Titi ditempatkan di PN Medan.

Ketika PTUN mulai beroperasi pada 1991, Titi dilantik menjadi hakim tinggi PTTUN Medan. Seperti dituliskan dalam biografinya, Titi pada awalnya merasa kecewa diangkat menjadi hakim tinggi karena ia berharap menjadi Ketua di salah satu PTUN. Belakangan, ia baru sadar ada hikmah di balik penunjukannya sebagai hakim tinggi.

Seandainya Titi menjadi ketua PTUN seperti yang dia inginkan, mungkin ia tidak memenuhi syarat untuk menjadi calon hakim agung pada 2002. “Karena itu, usai pelantikan pada 2003, Titi menangis tersedu-sedu. Selain terharu dan bersyukur, ia juga merasa berdosa karena dulu sempat kecewa pada Tuhan. Ternyata, kebaikan-Nya yang tak tepermanai kini meluruhkan kekecewaannya itu”, demikian tertulis dalam biografinya.

Pada 1997, Titi dipercaya menjadi Wakil Ketua PTTUN Surabaya. Pada 2001, ia dipromosikan menjadi Ketua PTTUN Medan, jabatannya yang diembannya hingga 2003. Ketika ia mengikuti fit and proper test di DPR dan dinyatakan lolos menjadi hakim agung; satu dari 18 orang yang dinyatakan lolos seleksi. Perempuan Batak ini mengabdi di Mahkamah Agung hingga pensiun pada 2008.

Ketika bertugas di Mahkamah Agung, Titi diberi amanah menjadi ketua kelompok kerja di lingkungan TUN. Kesibukannya sebagai hakim agung tidak menyurutkan langkahnya untuk terus mencari ilmu. Bersama sahabatnya, Chairani A. Wani, Titi mengambil jenjang magister di Fakultas Hukum Universitas Padjadjaran Bandung. Mereka berdua lulus dan wisuda pada Agustus 2005.

Bekerja sebagai hakim di lingkungan TUN menjadi tantangan tersendiri bagi Titi, terutama di awal-awal bertugas, seperti digambarkan dalam birografinya: “Ia merasakan tantangan tersendiri sehubungan dengan Peradilan Tata Usaha Negara. Meskipun sudah ada landasan hukumnya, penerapannya belum semudah yang diharapkan. Masalahnya, salah satu pihak (tergugat) tidak lain adalah pejabatan tata usaha negara (pemerintah) yang cenderung tidak mau dipersalahkan dan selalu merasa benar dalam tindakannya”. 

Meskipun ada rasa khawatir, ada waswas, dan tangis, faktanya Titi berhasil melewati tantangan dan rintangan sebagai hakim selama hampir 42 tahun. Menjadi hakim TUN diakuinya justru telah memperkayanya pengetahuan dan pengalamannya. Beragam jenis perkara dia tangani, baik sebagai ketua maupun anggota majelis. Setelah pensiun dari hakim agung, sesekali Titi mengabdikan pengalaman dan pengetahuannya di sebuah kantor konsultan hukum.

Chairani A. Wani

Keputusan Presiden No. 241/M Tahun 2000 menjadi payung hukum pengangkatan Chairani A Wani sebagai hakim agung. Ia diangkat bersama hakim agung antara lain Artidjo Alkostar, Abdulrahman Saleh, Benjamin Mangkoedilaga, Abdul Kadir Mappong, dan Bagir Manan. Pada saat mengikuti seleksi calon hakim agung, Chairani menjabat sebagai Wakil Ketua PTTUN Jakarta.

Hakim kelahiran Palembang, 12 April 1939 ini adalah lulusan Fakultas Hukum Universitas Sriwijaya Palembang. Setelah lulus kuliah ia diterima sebagai hakim, dan pada tahun 1968 bertugas di PN Tanjungkarang, Lampung. Ketika sudah menjadi hakim tinggi, Chairani banyak bertugas di Mahkamah Agung, dan pernah menjadi Direktur Tata Usaha Negara pada Mahkamah Agung (sebelum sistem satu atap).

Chairani termasuk satu dari 54 hakim perintis PTUN angkatan I tahun 1990/1991. Bahkan ia termasuk satu dari empat pionir hakim administrasi yang dikirim ke untuk belajar tentang droit administrative ke Perancis pada 1976-1977 bersama Lotulung, Benjamin, dan Titi Nurmala Siagian.

Tags:

Berita Terkait