Squid Game dan Adu Tarung Kepentingan Publik
Kolom

Squid Game dan Adu Tarung Kepentingan Publik

Tiap episode Squid Game terdapat refleksi serta analogi himpitan yang dirasakan masyarakat sipil dan publik Indonesia secara umum.

Bacaan 6 Menit
  1. Tarik Tambang Maut. Logika mutlak-mutlakan semakin tertanam di publik sekarang sejak politik identitas menjadi playbook dalam kontestasi politik pusat maupun daerah. Mirip lomba tarik tambang di Squid Game, satu jatuh; jatuh semua. Tidak ada ruang untuk diskusi bernuansa; langsung kasih stempel.

Kritis terhadap UU Omnibus Cipta Kerja, berarti menolak penciptaan lapangan kerja baru. Menolak pembubaran HTI, artinya setuju dengan premanisme berjubah yang dilakukan organisasi tersebut. Mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual berarti golongan liberal pro perzinahan. Menolak revisi UU KPK berarti Islam konservatif. Lalu bagaimana dengan mereka yang menolak revisi UU KPK dan mendukung RUU PKS? Seperti tarik tambang maut di Squid Game, begitu cap atau stempel melekat di satu kubu; tinggal tunggu waktu kapan jatuh.

  1. Marbles. Permainan kelereng dalam Squid Game memasangkan satu pemain dengan pemain lainnya. Mereka yang memiliki kelereng lebih sedikit akan langsung dieksekusi mati di tempat. Korban dalam permainan ini biasanya mereka yang lemah secara fisik dan mental atau berada dalam strata bawah dalam hierarki sosial seperti lansia, buruh migran atau perempuan.

Mirip seperti apa yang terjadi dengan berbagai kebijakan kita; yang pertama menjadi korban adalah mereka yang termarginalkan. Korban pasal penodaan agama dalam KUHP mayoritas adalah pemeluk agama selain Islam. Seakan tak cukup, pasal-pasal UU ITE kini sudah digunakan oleh pejabat publik dalam mempidanakan pengkritiknya.

Himpitan ekonomi dan minimnya edukasi finansial bagi masyarakat berpendapatan rendah membuat mereka terjerat pinjaman online alias pinjol dengan bunga mencekik. Masyarakat adat semakin sulit mengakses hutan dan laut karena rentan dikriminalisasi akibat UU Cipta Kerja. Teman-teman LGBT masih kerap menerima diskriminasi dan kekerasan dari kelompok mayoritas; sebuah petunjuk bahwa pendekatan pluralisme yang kerap digaungkan masih belum cukup menjangkau kaum minoritas seksual.

  1. Glass Bridge. Mirip permainan engklek, dalam permainan glass bridge, pemain harus menjejakkan langkahnya di atas jembatan yang terdiri dari petak-petak kaca. Jebakannya adalah beberapa dari petak kaca tersebut terdiri dari jenis gelas yang rapuh. Sehingga bila terinjak langsung pecah dan si penginjak tewas jatuh dari ketinggian. Ketika seorang pemain berusaha menggunakan pantulan cahaya untuk mengenali gelas mana yang merupakan jebakan, pengatur permainan Squid Game mempermainkan lampu sehingga para pemain terkelabui sehingga menginjak kaca yang rapuh sehingga jatuh dan mati.

Bagai bermain dalam episode Glass Bridge, Pemerintah kerap mengeluarkan kebijakan yang seolah memberi insentif tambahan bagi para hakim Mahkamah Agung dan Mahkamah Konstitusi. Keluarnya revisi UU MK No 7/2020 yang menambah masa jabatan hakim konstitusi dan PP 82/2021 Tentang Perubahan PP 55/2014 Tentang Hak Keuangan Hakim Agung dan Hakim Konstitusi menimbulkan kecurigaan seolah-olah penerbitan aturan-aturan tersebut memberikan insentif bagi para hakim agar putusan mereka kelak condong untuk kepentingan status quo.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait