​​​​​​​Status Hukum Perempuan Sebagai Kepala Keluarga Akibat Perceraian
Hukum Perkawinan Kontemporer

​​​​​​​Status Hukum Perempuan Sebagai Kepala Keluarga Akibat Perceraian

​​​​​​​Perempuan sebagai kepala keluarga tidak selalu identik dengan perceraian. Namun secara sosial kultural, orang hanya menerima istilah perempuan kepala keluarga bila terjadi perceraian yang melalui prosedur hukum.

Oleh:
M. Agus Yozami
Bacaan 2 Menit

 

Sekjen Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Dian Kartika Sari, berpendapat sama. Menurutnya, dalam UU Perkawinan ada kewajiban bagi suami atau istri yang sudah bercerai untuk bertanggung jawab terhadap berlangsungnya kehidupan anak, seperti tetap wajib mengirim biaya hidup, biaya pendidikan serta kesehatan.

 

Di pengadilan, kata Dian, hal-hal semacam itu biasanya ditetapkan di atas kertas. Tapi masalahnya, di UU Perkawinan tidak ada mekanisme untuk memaksa suami manakala tidak menjalankan kewajiban yang telah ditetapkan pengadilan.

 

“Sangat mungkin wanitanya menang di atas kertas, tapi kalau dia (suami, -red) tidak melakukan apa yang sudah diputus pengadilan, itu juga tidak ada sanksi di dalam UU Perkawinan,” katanya kepada hukumonline.

 

(Baca Juga: Gugat Cerai dan Harta Gono Gini, Simak Pandangan Ahli Hukum Keluarga)

 

Menurut Dian, kasus-kasus semacam ini sering dijumpai KPI, di mana pasca perceraian tanggung jawab mantan suami paling hanya pada tahun pertama. Hal ini berbeda jika mantan suaminya itu PNS, di mana putusan pengadilan masih bisa dieksekusi. Caranya, pengadilan tinggal meminta tempat mantan suami bekerja untuk memotong langsung gaji yang di dapat dan diberikan ke mantan istri. Tapi bagaimana pun juga, kata Dian, siap tidak siap perempuan harus bisa menjadi kepala keluarga, apalagi bila terjadi perceraian dan itu harus dihadapi.

 

“Itu kalau menikah dengan cara resmi. Kalau dia menikah secara siri lebih repot lagi, itu sudah tidak bisa diapa-apakan lagi. Kalau suaminya pergi, ya pergi saja toh si wanita nya juga tidak memiliki hak menuntut,” ujarnya.

 

Untuk diketahui, pemotongan gaji suami yang berstatus PNS untuk diberikan kepada mantan istrinya diatur dalam PP No. 10 Tahun 1983 jo. PP No. 45 Tahun 1990 tentang Izin Perkawinan dan Perceraian Bagi Pegawai Negeri Sipil.

 

Pasal 8

Apabila perceraian terjadi atas kehendak pegawai negeri sipil (PNS) pria, maka ia wajib menyerahkan sebagian gajinya untuk penghidupan bekas istri dan anak-anaknya.

Pembagian gaji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) ialah sepertiga untuk PNS pria, sepertiga untuk bekas istrinya dan sepertiga untuk anak atau anak-anaknya.

Sedangkan, dalam Kompilasi Hukum Islam Pasal 156 tentang Akibat Perceraian, menyatakan:

(b) Anak yang sudah mumayyiz (cukup umur, Red.) berhak memilih untuk mendapatkan hadhanah (pengasuhan, Red.) dari ayah atau ibunya.

(d) Semua biaya hadhanah dan nafkah anak menjadi tanggung jawab ayah menurut kemampuannya, sekurang-kurangnya sampai anak tersebut dewasa dan dapat mengurus diri sendiri (21 tahun).

Tags:

Berita Terkait