Status Lahan Kemitraan Atas Pailitnya Perusahaan Mitra
Kolom

Status Lahan Kemitraan Atas Pailitnya Perusahaan Mitra

Ada ketidaksinkronan status lahan kemitraan antara Peraturan Menteri Pertanian dengan Peraturan Menteri ATR/Kepala BPN.

Persoalannya adalah dengan mengacu pada Permen ATR/Kepala BPN 7/2017 dan yurisprudensi Putusan Nomor. 38/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN. Niaga. Jkt.Pst meletakkan status lahan yang diserahkan oleh masyarakat mitra sebagai aset perusahaan mitra berdasarkan status sertifikat hak guna usaha yang diperoleh perusahaan mitra. Tidak sinkronnya status lahan kemitraan kelapa sawit antara Peraturan Menteri Pertanian Nomor 26 Tahun 2007 dan Permen ATR/Kepala BPN 7/2017 menyebabkan potensi kehilangan lahan masyarakat mitra dalam hal pailitnya perusahaan mitra. Artinya justru perjanjian pola kemitraan meletakkan masyarakat mitra pada posisi yang lemah.

Pailitnya Perusahaan Mitra

Jika mengacu pada definisi kepailitan sebagaimana tertuang dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, kepailitan didefinisikan sebagai “sita umum atas semua kekayaan debitur pailit”. Frasa kata semua kekayaan debitur yang pailit dalam hal ini termasuk menunjuk pada lahan kemitraan yang disertifikatkan atas nama perusahaan mitra. Sebagaimana telah dijelaskan dalam bagian sebelumnya bahwa pemberian sertifikat hak guna usaha pada lahan yang berasal dari penyerahan memiliki konsekuensi bahwa lahan tersebut akan dihitung sebagai bagian dari kekayaan perusahaan mitra.

Pailitnya perusahaan mitra dengan kondisi dijaminkannya sertifikat hak guna usaha yang berasal dari penyerahan lahan masyarakat maka status kreditur pemegang jaminan sertifikat tersebut berstatus sebagai kreditur separatis. Artinya dalam hal ini sertifikat hak guna usaha yang berasal dari penyerahan lahan masyarakat menjadi jaminan kebendaan yang memberi hak istimewa pada kreditur separatis.

Dalam kasus kepailitan PT Bumiraya Investindo dan PT Airlangga Sawit melalui Putusan Nomor. 38/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN. Niaga. Jkt.Pst yang telah berkekuatan hukum tetap menyatakan bahwa lahan perkebunan kelapa sawit pola kemitraan meskipun berasal dari penyerahan lahan oleh masyarakat mitra namun karena dalam sertifikat tercatat atas nama perusahaan mitra dianggap sebagai bagian kekayaan perusahaan mitra yang pailit untuk selanjutnya diletakkan sita sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang Undang Nomor 37 Tahun 2004.

Selanjutnya dalam kasus kepailitan PT Permata Alam Hijau Jambi, Pengadilan melalui Putusan Nomor. 40/Pdt.Sus-PKPU/2019/PN. Niaga. Jkt.Pst memberikan hak atas lahan perkebunan kelapa sawit beserta segala tanaman yang ada di atasnya kepada Bank Nasional Indonesia (BNI) sebagai pemegang jaminan istimewa dalam posisi sebagai kreditur separatis. Dalam kasus ini pengadilan mengesampingkan keberatan dari Koperasi Olak Gedang Melako Jambi sebagai kumpulan masyarakat mitra yang keberatan dilakukan eksekusi atas lahan yang berasal dari penyerahan masyarakat mitra. Alasan lainnya adalah karena pada hak guna usaha yang menjadi objek sita kepailitan tercatat atas nama perusahaan mitra, pertimbangan lainnya dari majelis hakim adalah karena masyarakat mitra dianggap sebagai satu kesatuan dengan perusahaan mitra dalam mengusahakan perkebunan kelapa sawit karena turut menerima hasil dari perjanjian bagi hasil, sehingga kedudukan masyarakat mitra dipandang sebagai debitur.

Penyerahan lahan milik masyarakat melalui mekanisme kerja sama pola kemitraan sangat mengandung risiko bagi masyarakat mitra mengingat dimungkinkannya dalam Permen ATR/Kepala BPN 7/2017 untuk memberikan sertifikat atas nama perusahaan mitra. Jika diterbitkan sertifikat hak guna usaha atas nama perusahaan mitra maka lahan akan dianggap sebagai kekayaan dan hak kebendaan dari perusahaan mitra. Dengan demikian perusahaan mitra dapat menjaminkan serta melakukan tindakan lain atas lahan kemitraan tersebut, termasuk menempatkan lahan kemitraan sebagai bagian dari sita jaminan.

Terhadap kepemilikan lahan dan tanah pengadilan niaga berpedoman pada asas publisitas yakni mengetahui kedudukan atas benda jaminan sesuai pencatatan oleh Badan Pertanahan Nasional. Keberadaan benda jaminan perlu diketahui secara jelas di mana kepemilikan benda tersebut sesuai administrasi Badan Pertanahan Nasional. Dengan adanya publisitas maka dapat diketahui status pemilikan lahan dan tanah tersebut. Dalam hal ini jelas bahwa Permen ATR/Kepala BPN 7/2017 sangat merugikan masyarakat mitra, khususnya jika terjadi kepailitan pada perusahaan mitra.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait