Substansi Putusan MK Diubah, Pemohon Minta Pelaku Dipecat Tidak Hormat!
Utama

Substansi Putusan MK Diubah, Pemohon Minta Pelaku Dipecat Tidak Hormat!

Jika MK tidak melakukan investigasi dan memecat tidak terhormat pelaku, pemohon akan melakukan langkah hukum lebih lanjut, melalui jalur PTUN hingga pidana.

Oleh:
Aida Mardatillah
Bacaan 4 Menit

Dalam hukum, lanjut Zico, satu kata itu beda maknanya. Bila putusannya mengatakan “dengan demikian” yang ketika dibacakan putusannya Guntur Hamzah dua jam setelah dilantik, maka pengangkatan Guntur Hamzah dapat di-cancel dan putusan ini dapat dijadikan bukti ke PTUN, yang akan membuat hakim konstitusi Aswanto menang. “Karena pertimbangan putusan MK kan mengikat dan memiliki kekuatan hukum. MK sendiri yang mengatakan itu,” kata dia.

Lanjutnya, karena Guntur Hamzah sudah dilantik menjadi Hakim Konstitusi dan entah siapa yang memiliki kepentingan kemudian diubah menjadi ‘ke depan.’ Padahal kalau sudah RPH Hakim Konstitusi itu tidak boleh diubah. “Nah, bila ini diubah entah oleh siapa berarti bukan dari konsensus mayoritas hakim konstitusi. Jika, hal ini dilakukan oleh Hakim Konstitusi berarti sudah penghinaan terhadap kolega-koleganya,” kata dia.

Diketahui, frasa yang diubah tersebut adalah “Dengan demikian, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya".

Sedangkan yang tertuang dalam salinan putusan di website MK, adalah "Ke depan, pemberhentian hakim konstitusi sebelum habis masa jabatannya hanya dapat dilakukan karena alasan: mengundurkan diri atas permintaan sendiri yang diajukan kepada ketua Mahkamah Konstitusi, sakit jasmani atau rohani secara terus-menerus selama 3 (tiga) bulan sehingga tidak dapat menjalankan tugasnya yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter, serta diberhentikan tidak dengan hormat karena alasan sebagaimana termaktub dalam Pasal 23 ayat (2) UU MK..... dan seterusnya"

Dosen Hukum Tata Negara STHI Jentera, Bivitri Susanti mengatakan tidak pernah terjadi sebelumnya putusan MK yang dibacakan berbeda dengan salinan putusannya. Yang harus dilakukan MK, harus mengecek terlebih dahulu kesalahannya di mana, siapa yang melakukan dan mengapa? Hal ini perlu kebijaksanaan MK.

“Kalau dilakukan oleh hakim konstitusi maka akan ada sanksi etiknya dan bila dilakukan oleh panitera akan ada sanksi panitera. Artinya, mesti ada tindak lanjut mengenai kesalahan siapa, untuk diterangkan kepada masyarakat apa yang terjadi sebenarnya,” kata dia.

Ia juga mengatakan untuk memperbaiki putusan ini agak rumit, karena seperti diketahui bahwa putusan MK tidak ada upaya hukum lainnya, jadi bisa dilakukan dengan mengajukan lagi perkara baru. Tetapi untuk perkara baru berarti harus ada terlebih dahulu kejelasan yang baru terjadi supaya dalam putusannya ada kebaruan di sana, kalau tidak nanti bisa sama persis putusannya.

“Dalam logika bahasa, sebuah kata itu memiliki makna yang berbeda. Seperti saat ini frasa ‘dengan demikian’ diartikan sebagai ‘maka’ yang berarti dilakukan saat itu juga atau berlaku langsung. Tetapi kalau ‘ke depan’ keberlakuannya di masa yang akan datang,” kata Bivitri.

Kepala Humas MK Hubungan Dalam Negeri, Fajar Laksono Suroso ketika dihubungi oleh Hukumonline hingga tulisan ini dinaikkan, belum bisa merespons masalah ini lebih jauh. “Mohon maaf, kami belum akan memberikan respon soal itu, masih dikaji menyeluruh,” pungkasnya.

Tags:

Berita Terkait