Substansi UU Cipta Kerja Dinilai Anti Reforma Agraria
Utama

Substansi UU Cipta Kerja Dinilai Anti Reforma Agraria

Karena jauh dari upaya memperbincangkan struktur penguasaan dan kepemilikan tanah secara berkeadilan sosial.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 6 Menit

“Dari target 9 juta hektar reforma agraria, realisasinya tidak berdampak pada tujuan reforma agraria yaitu mengurangi ketimpangan dan menyelesaikan konflik struktural dan melindungi hak-hak konstitusional,” kata Dewi Kartika dalam peluncuran Catahu Tahap II KPA secara daring, Rabu (13/1/2020) lalu. (Baca Juga: Beragam Rekomendasi Perbaikan Arah Reforma Agraria)

Dia melanjutkan skema reforma agraria ini dilanjutkan pemerintah pada periode 2020-2024 dengan memberi porsi lebih besar untuk legalisasi atau sertifikasi yakni 4,5 juta hektar. Untuk reforma agraria melalui redistribusi tanah porsinya kecil yaitu 4 juta hektar ketimbang periode sebelumnya 4,1 juta hektar.

Capaian target reforma agraria tahun 2020, menurut Dewi datanya sangat meragukan karena di tengah pandemi Covid-19 seharusnya kegiatan menjadi terbatas, tapi capaian tahun 2020 melebihi tahun 2019. Misalnya, untuk sertifikasi tanah (PTSL) tahun 2020 mencapai 900 ribu hektar, tahun sebelumnya 829 ribu hektar; sertifikasi tanah transmigrasi mencapai 74.184 hektar, tahun sebelumnya 11.967 hektar; redistribusi tanah terlantar dan bekas HGU 423.133 hektar, sebelumnya 47.112 hektar; dan pelepasan kawasan hutan 194.600, tahun sebelumnya 5.400 hektar.

Selain itu, Pasal 129 UU Cipta Kerja menyebutkan HPL sebagai pemberian jenis hak di atas tanah negara. Melalui HPL, pemerintah seolah mau menghidupkan kembali domein verklaring yang berlaku pada masa kolonial, dimana tanah yang belum dilekati hak merupakan tanah negara. Padahal, konsep ini telah dihapus melalui UU No.5 Tahun 1960 dan putusan MK No.001-021-022/PUU-1/2003 menegaskan hak menguasai dari negara (HMN) diartikan sebagai kebijakan pemerintah untuk mengatur, mengurus, mengelola, dan mengawasi, tetapi bukan berarti negara yang memiliki tanahnya.

Untuk membenahi pelaksanaan reforma agraria ke depan, Dewi mengusulkan 3 hal. Pertama, Presiden sebaiknya memimpin langsung pelaksanaan reforma agraria yang paralel dengan penyelesaian konflik agraria struktural. Kedua, pemerintah perlu segera mengesahkan revisi Perpres No.86 Tahun 2018 sebagaimana aspirasi masyarakat. Ketiga, secara serius membuka partisipasi masyarakat secara aktif seperti dari kalangan organisasi masyarakat sipil dan gerakan reforma agraria dalam mendaftarkan lokasi prioritas untuk dilakukan reforma agraria.

“Pemerintah dan DPR penting juga untuk menerbitkan RUU Masyarakat Adat dan membentuk RUU Reforma Agraria sebagaimana mandat Tap MPR No.IX Tahun 2001 tentang Pembaruan Agraria dan Pengelolaan SDA yang sejalan UU Pokok Agraria,” pintanya.

Menteri Agraria dan Tata Ruang/Kepala Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN), Sofyan Djalil pernah mengklarifikasi persoalan ini. Dia mengatakan lembaga yang dipimpinnya dimandatkan membentuk 5 peraturan pelaksana UU Cipta Kerja, salah satunya mengenai Bank Tanah. Sofyan menjelaskan tujuan Bank Tanah agar negara memiliki tanah yang berasal dari tanah terlantar atau tidak digunakan pemilik konsesi.

Dia menjelaskan ATR/BPN berfungsi sebagai regulator dan manajer. Tapi selama ini fungsi manajer tidak berjalan karena tidak memiliki tanah yang bisa digunakan untuk kepentingan umum. Karena itu, Bank Tanah sangat dibutuhkan dan tujuannya, antara lain untuk memfasilitasi investasi, kepentingan umum seperti taman, perumahan rakyat, dan reforma agraria.

“Beberapa persoalan yang kerap dihadapi Pemerintah untuk menyediakan tanah bagi kepentingan umum, seperti perumahan rakyat karena tidak ada lahan yang dimiliki Pemerintah,” kata Sofyan Djalil dalam sebuah diskusi daring, Jumat (16/10/2020) lalu. (Baca Juga: Penjelasan Menteri ATR/BPN Soal Bank Tanah dalam UU Cipta Kerja)

Selama ini investasi yang masuk ke Indonesia kesulitan mendapat lahan dan sewa yang murah. Melalui Bank Tanah, Pemerintah bisa memberi insentif kepada investor berupa lahan dengan sewa yang murah. Selain memfasilitasi investasi, Bank Tanah juga untuk kepentingan sosial seperti perumahan rakyat dan reforma agraria. Bahkan jika tanah yang dimiliki Bank Tanah itu cocok untuk pertanian, seluruhnya bisa diprioritaskan untuk reforma agraria.

Tags:

Berita Terkait