Sugianto Sulaiman:
Advokat Tuna Netra dengan Semangat Buddhis
Utama

Sugianto Sulaiman:
Advokat Tuna Netra dengan Semangat Buddhis

Secara ekstrem, Sugianto menganalogikan posisi advokat di mata masyarakat tidak ubahnya golongan Paria, terendah dalam kasta agama Hindu.

Oleh:
RZK
Bacaan 2 Menit
Foto: http://kusalanitisena.com
Foto: http://kusalanitisena.com
Malam itu, Jumat 12 Januari 2006. Hotel Acacia Jakarta disesaki oleh sekumpulan orang berpakaian necis. Serikat Pengacara Indonesia, sebuah organisasi advokat yang sudah cukup lama eksis di Indonesia, menyelenggarakan acara Pelantikan Pengurus DPP SPI 2006-2011.

Tidak ada hal yang luar biasa sebenarnya dari acara tersebut, karena praktis tidak ada muka baru di jajaran kepengurusan organisasi yang awalnya bernama Serikat Pengacara Muda Indonesia (SPMI) itu. 

Namun, sesuatu hal yang tidak biasa terlihat ketika nama "Sugianto Sulaiman" disebut oleh pembawa acara dan dinobatkan sebagai Kepala Divisi Hubungan Luar Negeri DPP SPI. Ketika diminta maju ke panggung untuk bersanding dengan jajaran pengurus baru lainnya, Sugianto terlihat dipandu oleh seorang asisten. Tidak seperti rekan-rekannya, Sugianto ternyata memang memiliki keterbatasan pada indera penglihatan. Ia tuna netra.

Kepada hukumonline, Sugianto menceritakan awal musibah itu terjadi ketika pada tahun 1985 dirinya mulai mengidap sebuah penyakit syaraf. Selama kurang lebih lima tahun, penyakit tersebut terus menggerogoti tubuhnya, bahkan kemudian menyerang mata. Setelah mencoba berbagai metode pengobatan, penyakit tersebut tidak kunjung sembuh dan kondisi mata Sugianto justru semakin parah. Salah penanganan medis bercampur dengan rasa keputusasaan dan psikis yang lemah pada akhirnya mengantarnya pada kebutaan permanen.

"Kira-kira tahun 1990-an akhir, kapan tepatnya saya lupa tapi seingat saya setelah Perisitiwa Tembok Berlin runtuh tidak lama kemudian saya buta," kenangnya. Sugianto menuturkan ketika pertama kali menjalani kehidupan sebagai seorang tuna netra, dia dihadapkan pada situasi yang teramat sulit. 

Bayangkan, di tengah-tengah kondisi psikis yang lemah, Sugianto harus rela kehilangan kesempatan mendapatkan beasiswa sekolah ke Australia dan peluang untuk meningkatkan karier. Ketika mulai menjalani profesi advokat, Sugianto juga sempat menerima perlakuan tidak bersahabat dari mitra kerjanya, baik itu hakim maupun jaksa.

Setelah mengalami masa-masa yang sulit, Sugianto akhirnya mampu mengatasi segala keputusasaan tersebut. Tuntunan agama, itulah faktor yang berhasil memompa motivasi Sugianto untuk menata kembali hidup. Diakui Sugianto yang menganut agama Buddha, musibah tersebut telah berhasil menyadarkannya untuk kembali mendekat ke Tuhan Yang Maha Kuasa, suatu hal yang selama ini dia lupakan.

Hidup Sugianto mulai bergairah kembali dan Keterbatasan fisik tidak lagi menjadi faktor yang membatasi hasratnya untuk tetap beraktivitas hingga sekarang. Hal ini, misalnya, bisa terlihat dari keterlibatannya secara aktif di organisasi profesi advokat, SPI dan sebelumnya IPHI. Selain itu, Sugianto yang beragama Buddha juga aktif di organisasi keagamaan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI).

Memilih profesi advokat
Semangat hidup yang baru dimanfaatkan Sugianto sebagai momen untuk mengubah jalur karier. Profesi legal officer perusahaan yang sebelumnya digeluti ditinggalkan untuk kemudian beralih ke profesi advokat. Untungnya, Tuhan memberikan jalan yang lapang untuk Sugianto menjadi advokat. Meskipun memiliki keterbatasan, Sugianto diizinkan mengikuti ujian dengan bantuan asisten yang bertugas membacakan soal, dalam rangka mendapatkan izin profesi advokat yang pada masa itu masih bernama Surat Keputusan Pengadilan Tinggi (SKPT).

Menariknya, Sugianto sebenarnya tidak pernah berniat menjadi advokat, bahkan cenderung membencinya. Ada "segudang" alasan yang dikemukakan Sugianto di balik kebencian tersebut. Imej buruk yang selama ini melekat pada profesi advokat, itu salah satu alasan utama. Bahkan, alasan ini pula yang pernah digunakan keluarganya ketika berupaya mencegah Sugianto memilih fakultas hukum. Mereka keberatan karena banyak tudingan miring yang beredar di masyarakat mengenai profesi advokat, mulai dari istilah ujung-ujungnya duit (UUD) sampai kasih uang habis perkara (KUHP).

Secara ekstrem, Sugianto menganalogikan posisi advokat di mata masyarakat tidak ubahnya golongan Paria dalam kasta agama Hindu. Kasta, menurut ajaran agama Hindu, terdiri dari empat golongan utama yang secara hirarkis susunannya adalah Brahmana - Ksatria - Waisya - Sudra. Sementara, golongan Paria berkedudukan lebih rendah di bawah golongan Sudra. "Kalau kembali ke abad Romawi dulu, mungkin setara dengan budak," tukasnya.

Keberatan dari pihak keluarga tidak menyurutkan niat Sugianto untuk menekuni dunia hukum. Universitas Tarumanegara Jakarta menjadi pilihannya untuk menimba ilmu hukum. Dalam kurun waktu lima tahun sejak 1983, Sugianto berhasil menyelesaikan masa studinya. Selepas lulus, dia tak berminat melanjutkan ke jenjang yang lebih tingginya. "Jenjang S2 hukum di Indonesia tidak lebih dari pengulangan dari S1," dalihnya.

Oleh karenanya, tanpa menunggu lama, dia langsung berkecimpung di dunia profesi hukum. Seperti telah diceritakan di atas, pasca musibah yang terjadi pada matanya, Sugianto akhirnya menetapkan kariernya pada profesi advokat. Kiprahnya diawali pada tahun 1996 di Pos Bantuan Hukum (Posbakum) di PN Jakarta Pusat, memberikan bantuan hukum kepada masyarakat yang tidak mampu.

Pada awal kiprahnya, Sugianto menghadapi kenyataan bahwa tudingan miring masyarakat terhadap profesi advokat mendekati kebenaran. Sehari-hari, Sugianto menyaksikan atau lebih tepatnya mendengar secara langsung bagaimana rekan-rekan seprofesinya melakukan perbuatan tercela, menghalalkan segala cara semata-mata demi memenangkan perkara.

Sekali lagi, kondisi yang ada tidak menggoyahkan tekad Sugianto yang sudah bulat untuk menjadi advokat. Dia berkeyakinan masih ada jalan untuk menjadi advokat yang baik, sama seperti keyakinannya bahwa masih banyak advokat yang baik. Misi pribadinya adalah membantu orang tidak mampu dan golongan yang selama ini termarjinalkan.

"Setidak-tidaknya, saya mencoba berusaha untuk tidak ikut-ikutan. Pokoknya saya berusaha menjadi lawyer yang tidak menghalalkan segala cara-cara yang kotor asal bisa menang," tegasnya. Dengan misi tersebut, pada tahun 2005, Sugianto dengan dukungan Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) kemudian mendirikan sebuah kantor hukum bernama KUSALA NITISENA (Kusala).

Kusala Nitisena
Kantor  Hukum & Biro Jasa KUSALA NITISENA 
lahir  dari  Majelis Buddhayana Indonesia (MBI) dan siap memberikan pelayanan yang terbaik di bidang jasa kepengacaraan, notariat, perijinan, akunting, perpajakan, dan jasa-jasa hukum lainnya.

Demikian bunyi advertorial pembuka tentang Kusala yang beredar di sebuah mailing list. Sugianto menjelaskan kata 'KUSALA NITISENA' berasal dari Bahasa Sansekerta yang artinya 'Pejuang Hukum yang Terampil dalam Kebijakan'. Menurutnya, makna kata ini kurang lebih sepadan dengan kata 'Officum Nobile' yang bermakna 'profesi yang mulia' status advokat yang ditegaskan oleh UU No. 18 Tahun 2003. "Mudah-mudahan bisa benar-benar mewujudkan makna officum nobile itu," harapnya.

Bertempat di lantai dasar sebuah ruko di bilangan Duri Kepa, Jakarta Barat, kantor Kusala terlihat sederhana dengan ruangan yang terbatas. Sebagian dari bagian muka kantor tersebut bahkan ditempati oleh sebuah agen travel. Sesuai dengan namanya, Kusala tidak hanya menawarkan jasa yang berbau hukum tetapi juga bidang lain seperti pembuatan akte kelahiran, pembuatan/ perpanjangan SIM, STNK, passport, domisili, KITAS, KIM, dan lain-lain. 

Walaupun nuansa Buddha begitu kental melekat, Sugianto menegaskan pendirian Kusala tidak secara khusus diperuntukkan bagi pemeluk agama Buddha. Kusala, lanjutnya, terbuka untuk semua kalangan terlepas dari latar belakang agama maupun suku. Namun begitu, Sugianto tidak menampik bahwa semangat dibalik pendirian Kusula adalah adanya fakta pemeluk agama Buddha selama ini teralienasi di Indonesia.

Berdasarkan catatan sejarah, apa yang dikemukakan Sugianto memang sulit dibantah kebenarannya. Nasib pemeluk agama Buddha atau secara umum warga keturunan Cina di Indonesia memang memprihatinkan dan cenderung dianak-tirikan dibandingkan warga negara lainnya. Untungnya, kondisi ini berbalik 180 derajat ketika era reformasi bergulir. Diprakarsai oleh pemerintah pada era Presiden Abdurrahman Wahid, kedudukan warga keturunan Cina secara bertahap mulai mendapat pengakuan yang lebih baik dari negara.

Meskipun zaman sudah banyak berubah, tetapi Sugianto merasa kepentingan umat Buddha masih perlu ada yang mewakili. Komitmen Kusula dibuktikan ketika terjadi kasus penodaan agama Buddha yang dilakukan oleh Pendeta Theodores Tabaraka. Kasus ini berlangsung pada 14 Oktober 2005, melalui Harian Suara Pembaruan Theodores mengiklankan acara ceramah dengan judul "Seorang Buddha Menemukan Surga".

Merasa agamanya ternodai oleh judul serta isi ceramah tersebut, sejumlah umat Buddha Indonesia yang tergabung dalam Forum Solidaritas Buddhis (FSB) dengan dukungan Kusala sebagai kuasa hukum melancarkan protes. Sasaran tembak mereka adalah pihak pemasang iklan yakni Theodores dan media yang menayangkannya, Suara Pembaruan.

Ajaran Budha
Untuk Theodores, FSB membawa kasus ini ke proses hukum di Kepolisian setelah sebelumnya dilayangkan surat teguran sebanyak dua kali. Sementara untuk Suara Pembaruan, FSB menggunakan mekanisme yang ditetapkan UU Pers yakni pengaduan ke Dewan Pers. Kasus ini akhirnya berhenti setelah baik Theodores dan Harian Suara Pembaruan menyampaikan permintaan maaf. Di luar kasus ini, Kusala juga menangani kasus-kasus lain yang berkaitan dengan agama Buddha.

Nilai-nilai agama Buddha tidak hanya mewarnai Kusala, tetapi juga pribadi Sugianto sendiri. Menurutnya, agama Buddha seperti halnya agama-agama yang lain memiliki nilai-nilai luhur yang dapat dijadikan pegangan bagi advokat sehingga dapat menjalankan profesinya secara benar.

Secara spesifik, Sugianto menuturkan ada tiga dosa besar menurut ajaran agama Buddha yang harus dihindari, yakni loba atau ketamakan, moha atau kebodohan, dan dosa atau perbuatan jahat. Tiga hal ini yang menjadi pegangan bagi semua pemeluk agama Buddha, tidak terkecuali yang berprofesi advokat. Sugianto berpandangan banyak advokat yang menafikan nilai-nilai agama sehingga mereka dengan mudahnya melakukan perbuatan tercela. "Agama memang bukan satu-satunya faktor tapi setidaknya advokat memiliki pegangan," tambahnya.

Sugianto dengan segala keterbatasannya terus menapaki kakinya di dunia profesi advokat. Dengan benteng agama, dia -setidaknya berusaha- menjadi satu dari sedikit advokat yang tidak suka menghalalkan segala cara. Ulah rekan-rekan seprofesi yang pastinya sebagian besar dalam kondisi ‘normal', dipandang Sugianto semata-mata hanya arus kehidupan yang tidak harus diikuti, bahkan justru wajib dihindari.

Sebuah renungan bagi para advokat, apakah dengan segala 'kelebihan' yang Anda miliki, Anda layak disematkan label officium nobile?
Tags: