Ekses Yuridis Surat Ketua MA tentang Penyumpahan Advokat
Kolom

Ekses Yuridis Surat Ketua MA tentang Penyumpahan Advokat

Secara sosio-legal, tentu sangat beralasan ketika muncul kekhawatiran dunia hukum yang dijalankan juga oleh pada advokat akan semakin mengalami keterpurukan.

Bacaan 8 Menit

Pada titik ini, advokat dapat memberikan masukan, nasihat, bahkan langkah-langkah perlindungan terhadap hak-hak dari masyarakat terkait dengan beragam faset permasalahan hukum, bahkan dapat memberikan penjelasan yang gamblang mengenai keseluruhan aspek hukum di Indonesia yang kian hari kian esoteris.

Masyarakat Indonesia yang dapat dikatakan sebagian besar masih buta dan awam terhadap ekosistem hukum dan penegakannya tentu membutuhkan bantuan serta tempat untuk bertanya terhadap permasalahan-permasalahan hukum di Indonesia. Bahkan di kala pandemi, dan di era revolusi industri 4.0 serta society 5.0 masyarakat saat ini semakin banyak berurusan dengan hukum yang tentunya harus dilindungi hak-haknya. Oleh karenanya ketika para advokat menurun kualitas akibat tiadanya pengawasan yang ketat dan tahapan yang standar, tentu akan memunculkan ironi dan permasalahan yang kian menyengsarakan kehidupan para pencari keadilan.

Eksistensi advokat yang berkualitas yang dijamin dengan pengawasan yang melekat serta langkah pengembanan profesi yang sistematis menjadi kebutuhan yang mendesak bahkan menjadi Conditio Sine Qua Non untuk mengimbangi kebutuhan masyarakat akan hukum dan perkembangannya yang masif. Maka single bar system menjadi keniscayaan dalam menjaga kualitas advokat maupun kualitas kelembagaan yang mustahil jika memedomani multi bar system sebagaimana dikemukakan dalam SKMA Penyumpahan Advokat.

Secara lebih detail dapat dikemukakan beberapa ekses (dampak negatif) akibat terbukanya multi bar system sebagaimana SKMA Penyumpahan Advokat. Pertama, tidak terkendalinya jumlah advokat yang eksis di Indonesia, sehingga monitoring maupun pemantauan jumlah advokat mengalami kesulitan dalam pelaksanaannya. Kedua, standarisasi advokat yang berbeda-beda pada setiap organisasi advokat yang bermunculan berekses pada perbedaan standar minimal mutu advokat yang tentu berpotensi menyengsarakan rakyat pencari keadilan akibat ketiadaan standarisasi mutu dan kode etik profesi sebagai dampak berbedanya tahapan pencapaian kualitas profesi advokat yang tidak diwadahi dalam sebuah single bar system.

Ketiga, semakin mudahnya untuk menjadi advokat berekses pada limbungnya predikat officium nobile serta tidak terkontrolnya perilaku di luar persidangan. Keempat, mudahnya advokat berpindah organisasi ketika melakukan pelanggaran kode etik profesi advokat untuk menghindari sanksi yang dijatuhkan dari suatu organisasi profesi advokat. Kelima, perlindungan yang tidak maksimal terhadap advokat oleh organisasi profesi yang tidak tersentral ketika berhadap-hadapan dengan penegak hukum lain yang notabene tersentral organisatorisnya.

Perlu disadari bahwa dalam praktiknya, advokat sebagai sebuah profesi yang mulia (officium nobile), tidak dapat dilepaskan dari keterkaitannya dengan organisasi yang memayungi aktivitasnya. Itulah sebabnya seorang advokat tidak akan dapat berperan secara maksimal dalam menegakkan nilai ideal keadilan di tengah belantara penegakan hukum jika tidak bergabung dalam suatu organisasi profesi.

*)Shalih Mangara Sitompul, adalah seorang advokat/Wakil Ketua Umum DPN PERADI.

Artikel kolom ini adalah tulisan pribadi Penulis, isinya tidak mewakili pandangan Redaksi Hukumonline.

Tags:

Berita Terkait