Surat Kuasa, Konsep Amanah yang (Sering) Salah Kaprah
Berita

Surat Kuasa, Konsep Amanah yang (Sering) Salah Kaprah

Surat kuasa adalah satu aspek dalam hukum perdata yang dalam praktek selalu diperdebatkan. Beberapa edisi ke depan hukumonline akan mencoba mengulas mengenai hal ini, mulai dari teori hingga praktek.

Oleh:
Rzk/NNC
Bacaan 2 Menit

 

Umumnya, kuasa diberikan secara sepihak. Hanya menimbulkan wewenang bagi penerima kuasa (substitutor), tapi tidak menimbulkan kewajiban bagi penerima kuasa untuk melaksanakan kuasa itu. Kuasa tidak memerlukan tindakan penerimaan dari penerima kuasa. Wilayah inilah yang diperdebatkan oleh Todung cs versus Panitera MK.

 

Pemberian kuasa (Power of Attorney) -sebagaimana praktek ini dimulai di negeri common law/anglo saxon adalah perbuatan sepihak. Ciri kuasa adalah penerima menyebut suatu nama pemberi kuasa pada waktu melakukan tindakan hukum. Inilah yang dinamakan perwakilan langsung. Begitu pula sebaliknya, jika penerima kuasa bertindak untuk dirinya sendiri, seperti makelar, maka bakal timbul yang disebut dengan perwakilan tidak langsung.

 

Cara pemberian kuasa ada tiga macam: pertama, kuasa diberikan kepada seorang bawahan. Kedua, kuasa diberikan sebagai bagian dari perjanjian lain (lastgeving) atau perjanjian untuk melakukan jasa-jasa tertentu lainnya (arsitek/konsultan hukum/medical advisor). Dan terakhir, kuasa terisolir.

 

Sebagai suatu tindakan hukum, pemberian kuasa tidak terikat pada suatu bentuk, bisa diberikan secara lisan atau tertulis (Pasal 1793 ayat 1 BW). Namun terdapat sejumlah ketentuan UU yang mewajibkan suatu kuasa terikat pada bentuk tertentu. Antara lain Pasal 1171 KUHPerdata menentukan Kuasa memberikan Hipotik harus dibuat dengan suatu akta otentik, Kuasa Untuk menghadiri RUPS harus secara tertulis dengan surat kuasa (UUPT),  Kuasa menerima hibah mesti dengan akta otentik (KUHPerdata 1683).

 

Tags: