Survei KHL Bermasalah, Upah Minimum Selalu Rendah
Berita

Survei KHL Bermasalah, Upah Minimum Selalu Rendah

Besaran kebutuhan hidup layak (KHL) yang ditetapkan selama ini lebih rendah dari fakta di lapangan.

Oleh:
ADY
Bacaan 2 Menit
Survei KHL Bermasalah, Upah Minimum Selalu Rendah
Hukumonline

Anggota Dewan Pengupahan DKI Jakarta dari unsur serikat pekerja, Dedi Hartono, mengatakan penetapan besaran KHL yang selama ini diputuskan dewan pengupahan daerah, khususnya DKI Jakarta kerap bermasalah. Sebab, nilai KHL dipatok lebih rendah dari fakta yang diperoleh dari hasil survei dewan pengupahan. Misalnya, hasil survei yang dilakukan dewan pengupahan DKI Jakarta pada tahun 2007 menghasilkan angka rata-rata KHL lebih dari Rp1 juta. Namun, dewan pengupahan tidak menjadikan besaran itu sebagai KHL tahun 2007 karena nilai KHL yang diputuskan lebih rendah yaitu Rp991 ribu.

Padahal, Dedi melanjutkan, besaran KHL adalah standar minimal yang harus diterima pekerja untuk bertahan hidup. Ironisnya, penetapan besaran KHL di bawah angka rata-rata hasil survei itu berlangsung sampai tahun-tahun berikutnya. Ujungnya, tahun lalu Wakil Gubernur DKI Jakarta, Basuki Tjahaja Purnama melakukan terobosan. Yaitu penetapan KHL memperhatikan regresi yang kemudian angka rata-rata itu ditetapkan sebagaimana mestinya.

Sekalipun penetapan KHL sesuai angka rata-rata yang dihasilkan dari hasil survei, bagi Dedi hal itu tidak menjamin besarannya sesuai dengan fakta di lapangan. Sebab dasar perhitungan dari angka rata-rata itu dari awal sudah bermasalah. Oleh karenanya ke depan Dedi berharap ada perubahan kualitas dan kuantitas KHL sehingga, survei yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan pekerja sehari-hari.

Misalnya, Dedi melanjutkan, dalam KHL terdapat komponen transportasi dan sewa kamar. Dalam pembahasan besaran KHL dewan pengupahan DKI Jakarta beberapa waktu lalu pihak pemerintah dan pengusaha memunculkan hasil survei untuk kedua komponen itu dengan tidak memperhatikan fakta. Ujungnya besaran kedua komponen KHL itu dipatok rendah. “Kami menolak hasil survei itu karena tidak faktual,” kata Dedi dalam jumpa pers di Jakarta, Jumat (18/10).

Oleh karenanya, untuk KHL DKI Jakarta serikat pekerja mendesak agar ditetapkan dengan mengacu hasil proyeksi atau regresi sebagaimana perkembangan harga ke depan. Baginya, hal itu patut dilakukan karena selama ini, ketika menetapkan KHL untuk acuan upah minimum tahun depan, survei yang dilakukan terhadap harga yang berlaku tahun ini. Menurutnya hal itu sangat merugikan pekerja karena tahun depan, harga-harga sudah berubah dan cenderung naik. Akhirnya, upah kaum pekerja terus berkutat di angka yang rendah.

Penetapan KHL sebagai acuan upah minimum menurut Dedi harus melangkah ke arah lebih baik sebagaimana amanat Permenakertrans No.13 Tahun 2012TentangKomponen dan Pelaksanaan Tahapan PencapaianKebutuhan Hidup Layak. Dedi menilai Permenakertrans KHL itu memperbaiki regulasi sebelumnya karena meningkatkan jumlah komponen KHL dari 46 menjadi 60.

Oleh karenanya, survei KHL yang dilakukan dewan pengupahan menurut Dedi harus merujuk ketentuan itu. Misalnya, komponen sewa kamar harus memenuhi syarat bahwa kamar atau rumah tersebut harus mampu menampung seluruh komponen KHL. Atas dasar itu Dedi menilai untuk sewa kamar, besaran komponennya harus setara dengan cicilan rumah layak atau tipe 36. Begitu pula dengan komponen KHL yang berkaitan dengan transportasi. “Itu bukti ada perubahan kualitas dan kuantitas. Faktanya sampai sekarang dewan pengupahan belum melakukan perbaikan tersebut,” paparnya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait