Survei TI Indonesia: 10 Persoalan Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Pengadilan
Terbaru

Survei TI Indonesia: 10 Persoalan Kepercayaan Publik Terhadap Lembaga Pengadilan

Menjadi fakta bahwa agenda pembaruan peradilan masih jauh dari harapan.

Oleh:
Mochamad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Seminar Nasional bertema Menyongsong Dua Dekade Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia: Peluncuran Survei Potret Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Pengadilan,  Rabu (14/12). Foto: MJR
Seminar Nasional bertema Menyongsong Dua Dekade Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia: Peluncuran Survei Potret Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Pengadilan, Rabu (14/12). Foto: MJR

Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan lembaga pengadilan Indonesia sedang menghadapi tantangan serius di tengah semakin dekatnya jatuh tempo dua dekade Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia. Sejumlah insan pengadilan juga masih ada yang tersandung kasus korupsi. Hal ini menyiratkan fakta bahwa agenda pembaruan peradilan masih jauh dari harapan.

Merespons situasi ini, TII melakukan survei nasional untuk mengukur kinerja pengadilan dan bagaimana risiko korupsi ada di dalamnya untuk kemudian memberikan rekomendasi bagi tata kelola pembaruan peradilan. Sekretaris Jenderal TII, Danang Widyoko memaparkan setidaknya ada 10 temuan penting yang harus menjadi perhatian bersama, terutama Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia.

Temuan pertama yaitu terdapat permintaan sejumlah uang oleh petugas pengadilan paling banyak dipersepsikan sebagai korupsi. “Mayoritas responden menilai biaya di luar biaya resmi menyalahi aturan dan tidak wajar,” jelas Danang dalam Seminar Nasional “Menyongsong Dua Dekade Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia: Peluncuran Survei Potret Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Pengadilan” pada Rabu (14/12).

Baca Juga:

Kedua, terdapat seperempat jumlah responden pernah mengetahui bahkan menjadi korban praktik korupsi. Gratifikasi mendominasi, umumnya berupa permintaan uang, hadiah barang, atau diskon.

Ketiga, responden menyatakan pihak ketiga adalah orang yang paling dapat diandalkan untuk mempercepat layanan pengadilan. “Umumnya responden memilih advokat sebagai alternatif pertama,” ungkap Danang.

Keempat, perempuan lebih rentan berinteraksi dengan aktor korupsi di pengadilan. Perempuan pencari keadilan lebih sering menggunakan koneksi pribadi ketika mengakses layanan pengadilan.

Tags:

Berita Terkait