Transparency International Indonesia (TII) mengungkapkan lembaga pengadilan Indonesia sedang menghadapi tantangan serius di tengah semakin dekatnya jatuh tempo dua dekade Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia. Sejumlah insan pengadilan juga masih ada yang tersandung kasus korupsi. Hal ini menyiratkan fakta bahwa agenda pembaruan peradilan masih jauh dari harapan.
Merespons situasi ini, TII melakukan survei nasional untuk mengukur kinerja pengadilan dan bagaimana risiko korupsi ada di dalamnya untuk kemudian memberikan rekomendasi bagi tata kelola pembaruan peradilan. Sekretaris Jenderal TII, Danang Widyoko memaparkan setidaknya ada 10 temuan penting yang harus menjadi perhatian bersama, terutama Mahkamah Agung sebagai salah satu puncak kekuasaan kehakiman di Indonesia.
Temuan pertama yaitu terdapat permintaan sejumlah uang oleh petugas pengadilan paling banyak dipersepsikan sebagai korupsi. “Mayoritas responden menilai biaya di luar biaya resmi menyalahi aturan dan tidak wajar,” jelas Danang dalam Seminar Nasional “Menyongsong Dua Dekade Cetak Biru Pembaruan Peradilan Indonesia: Peluncuran Survei Potret Kepercayaan Publik terhadap Lembaga Pengadilan” pada Rabu (14/12).
Baca Juga:
- KPK Tahan Hakim Agung Gazalba Saleh Terkait Dugaan Suap Rp2.2 Miliar
- Diduga Terima Suap Rp5,3 Miliar Terkait Lelang Jabatan, Bupati Bangkalan Ditahan KPK
Kedua, terdapat seperempat jumlah responden pernah mengetahui bahkan menjadi korban praktik korupsi. Gratifikasi mendominasi, umumnya berupa permintaan uang, hadiah barang, atau diskon.
Ketiga, responden menyatakan pihak ketiga adalah orang yang paling dapat diandalkan untuk mempercepat layanan pengadilan. “Umumnya responden memilih advokat sebagai alternatif pertama,” ungkap Danang.
Keempat, perempuan lebih rentan berinteraksi dengan aktor korupsi di pengadilan. Perempuan pencari keadilan lebih sering menggunakan koneksi pribadi ketika mengakses layanan pengadilan.
Kelima, pengambilan putusan diyakini sebagai tahapan yang paling berpeluang besar terjadi praktik korupsi. Wilayah diskresi putusan hakim, administrasi perkara, serta penetapan majelis hakim, putusan dan eksekusi dipersepsikan paling banyak memiliki redflag.
Keenam, semua pihak di lembaga pengadilan berpeluang melakukan korupsi. Menurut responden, di antara semua petugas pengadilan, hakim dinilai paling besar peluangnya untuk melakukan korupsi.
Ketujuh, pengadilan masih dipercaya oleh responden sebagai pihak yang mampu mengambil keputusan secara adil. Semakin muda generasi, penilaiannya semakin positif.
Delapan, mayoritas layanan informasi pengadilan belum diketahui masyarakat. Namun mereka yang pernah mengakses menilai puas.
Kesembilan, mayoritas responden berharap agar layanan pengadilan di Indonesia semakin adil dan tanpa rekayasa.
Kesepuluh, terdapat dua rekomendasi prioritas untuk peningkatan kepercayaan publik terhadap pengadilan, yaitu penguatan integritas personel dan penguatan peran masyarakat sipil dalam agenda-agenda reformasi peradilan.
Sementara itu, Ketua Dewan Pengurus TII, Felia Salim menyatakan untuk mendukung terwujudnya visi “Mewujudkan Badan Peradilan yang Agung” dari Mahkamah Agung, Transparency International Indonesia melalui studinya terbukti memberikan sejumlah temuan penting yang harus menjadi perhatian bersama.
“Sejumlah temuan ini seyogyanya dapat menjadi refleksi kita bersama, di titik mana kita telah berhasil dan di titik mana kita perlu bekerja lebih keras,” jelas Felia.
Survei yang dilakukan TI Indonesia bersama Litbang Kompas pada bulan September hingga Oktober 2022 terhadap 1.200 responden ini terbukti memberikan sejumlah temuan penting.