Tabrak Konstitusi dan UU Pemilu, MA Diminta Periksa Majelis Hakim Penundaan Pemilu
Terbaru

Tabrak Konstitusi dan UU Pemilu, MA Diminta Periksa Majelis Hakim Penundaan Pemilu

Pasal 22E UUD 1945 mengamatkan Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Sementara Pasal 470 dan 471 UU 7/2017 tidak memberikan amanat pengadilan negeri sebagai pihak yang berhak memutuskan sengketa terkait pemilu. Bawas MA mesti turun tangan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Ketua MPR Bambang Soesatyo. Foto: Istimewa
Ketua MPR Bambang Soesatyo. Foto: Istimewa

Nyaris semua kalangan terkait dengan kepemiluan angkat suara atas putusan Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat nomor perkara 757/Pdt.G/2022/PN Jkt.Pst pada Kamis (2/3/2023) kemarin. Putusan yang memerintahkan penyelenggara pemilu tidak melanjutkan tahapan pemilihan umum (Pemilu) berikutnya menunjukan penundaan pelaksanaan pesta demokrasi 2024 mendatang bertentangan dengan konstitusi dan UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum.

Ketua Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR) Bambang Soesatyo  berpandangan, putusan PN Jakarta Pusat berpotensi terhadap pelaksanaan pemilu mendatang. Padahal telah disepakati konstitusi, termasuk pembentuk UU, pemerintah dan penyelenggara pemilu pelaksaan pemilu bakal digelar 2024 mendatang.

“Putusan tersebut bertentangan dengan amanat konstitusi dan UU Pemilu,” ujarnya melalui keterangannya, Jumat (3/3/2023).

Baca juga:

MPR prinsipnya, pelaksanaan pemilu mesti tepat waktu sebagaimana diatur dalam Pasal 22E UUD 1945 mengamatkan pemilihan presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPRD, dan anggota DPD diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Memang, UU 7/2017 membuka kesempatan dilakukannya penundaan Pemilu dan Pemilu susulan.

Tetapi mekanisme tersebut  pun diatur secara ketat dan terbatas, sebagaimana tertera dalam UU 7/2017. Pasal 31 ayat (1) UU 7/2017 menyebutkan, “Dalam hal di sebagian atau seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia terjadi kerusuhan, gangguan keamanan, bencana alam, atau gangguan lainnya yang mengakibatkan sebagian tahapan Penyelenggaraan Pemilu tidak dapat dilaksanakan, dilakukan Pemilu lanjutan”. Sedangkan ayat (2) menyebutkan, “Pelaksanaan Pemilu lanjutan sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dimulai dari tahap Penyelenggaraan Pemilu yang terhenti”.

Lagi pula, UU 7/2017 tidak memberikan amanat kepada pengadilan negeri sebagai pihak yang berhak memutuskan sengketa terkait pemilu, sebagaimana diatur dalam Pasal 470 dan Pasal 471 UU 7/2017. Intinya, gugatan atau sengketa terkait keputusan KPU dalam proses verifikasi partai politik calon peserta pemilu ditangani oleh Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) dan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).

Tags:

Berita Terkait