Tabrak Konstitusi dan UU Pemilu, MA Diminta Periksa Majelis Hakim Penundaan Pemilu
Terbaru

Tabrak Konstitusi dan UU Pemilu, MA Diminta Periksa Majelis Hakim Penundaan Pemilu

Pasal 22E UUD 1945 mengamatkan Pemilu diselenggarakan setiap lima tahun sekali. Sementara Pasal 470 dan 471 UU 7/2017 tidak memberikan amanat pengadilan negeri sebagai pihak yang berhak memutuskan sengketa terkait pemilu. Bawas MA mesti turun tangan.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Bamsoet begitu biasa disapa, meminta KPU mendesak PN Jakarta Pusat agar memberikan informasi secara rinci faktor yang menyebabkan Pemilu 2024 harus ditunda, seberapa besar wilayah penundaan, pihak mana yang menetapkan penndaan. Baginya, informasi tersebut harus diinformasikan secara terbuka, mengingat pemilu merupakan agenda demokrasi yang harus dilakukan secara rutin di Indonesia sesuai peraturan perundangan yang berlaku.

Tapi demikian, Mantan Ketua DPR itu mempersilakan seluruh penyelenggara pemilu agar tetap menjalankan proses dan tahapan Pemilu 2024 yang telah berjalan hingga saat ini, sesuai skema tahapan Pemilu yang telah disepakati bersama. Tak kalah penting, MPR pun meminta Pengadilan Tinggi (PT) DKI Jakarta agar cepat merespons upaya banding yang diajukan KPU.

“Agar kasus ini tidak menimbulkan polemik atau kericuhan di masyarakat yang berpotensi menurunkan kepercayaan dan partisipasi masyarakat dalam proses dan pelaksanaan Pemilu 2024 nantinya,” ujar politisi Partai Gokar itu.

Ketua Bidang Hubungan Legislatif Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Partai Nasional Demokrat (Nasdem) Atang Irawan menilai, putusan PN Jakarta Pusat menjadi preseden buruk yang menabrak konstitusi. Dia mendorong Badan Pengawas (Bawas) Mahkamah Agung (MA) melakukan pemeriksaan terhadap orkestrasi yustisial hakim di PN Jakarta Pusat yang telah menimbulkan turbulensi penerapan hukum.

"Apalagi persoalan ini terkait dengan kompetensi absolut dan penyimpangan norma yang sudah jelas dan tegas serta imperatif diatur dalam UU dan Konstitusi,” ujarnya.

Pria yang juga Dosen Hukum Tata Negara Universitas Pasundan itu mengatakan, ada dua kekuasaan besar yang diberi tangung jawab menegakkan hukum dan keadilan. Yaitu MA dan Mahkamah Konstitusi sekalipun tidak diberikan kewenangan untuk melakukan penundaan pemilu.

Tapi anehnya, peradilan yang berada di bawah MA malah menerobos konstitusi, sehingga telah menodai demokrasi yang menjadi komitmen kebangsaan. Melihat skema UU 7/2017, penundaan pelaksanaan pemilu menjadi ranah KPU melalui dua kanal. Yakni pemilu lanjutan dan/atau pemilu susulan.

Tags:

Berita Terkait