Tafsir Kritis Fenomena Koalisi Guru Besar
Kolom

Tafsir Kritis Fenomena Koalisi Guru Besar

Suara moral koalisi-koalisi itu tetap harus dikawal, termasuk juga perlu dikritisi.

Bacaan 6 Menit

Heru Nugroho (2012) dengan kalimat cadas ‘menegur’ mereka. Dikaitkannya mereka dengan istilah ‘dosen asongan’, yaitu dosen yang kerja di luar kampus dan menjadikan kerja kampus justru sebagai sambilan. Menurut Heru, tugas utama mereka bukan lagi menjadi intelektual kampus, tetapi menggunakan alat-alat akademik untuk kepentingan ekonomi politik mereka.

Sementara, di jalan kedua, berangkat dari sikap dan pengandaian kaum intelektual yang memiliki kedigdayaan untuk hidup di luar kekuasaan. Di jalan ini, banyak intelektual yang sampai hari ini menjaga jarak, bahkan ‘mengharamkan’ dunia politik dan kekuasaan yang digambarkan secara stereotyping sebagai dunia ‘kotor’ yang tak layak dimasuki kaum intelektual sebagai simbol ‘kebersihan’ dan ‘kesucian’. Berangkat dari sini, mereka seolah merasa punya kebenaran absolut ketika mengontrol, mengkritik, bahkan memaki dan menghina bekerjanya kekuasaan beserta tingkah polah segenap pelaku-pelakunya.

Perlu Memastikan

Secara prinsip, saya sependapat dengan Tanuredjo. Suara kencang (koalisi) para resi itu merupakan ekspresi kegalauan kaum intelektual yang berdiri luar pusaran kekuasaan terhadap keadaan hari ini. Mungkin, para akademisi kelas ‘brahmana’ dari beragam disiplin ilmu itu punya kesamaan frekuensi, lantas saling sepakat me-nyetting alarm agar berbunyi saat moralitas dan kebajikan umum dirasa mulai tercederai.

Mungkin benar kata Edmund Burke, ahli ekonomi dan filsuf asal Irlandia, “merajalelanya keburukan dalam suatu komunitas atau suatu bangsa adalah karena orang-orang yang baik berdiam diri”. Sangka baiknya, itulah kira-kira yang ngawe-awe para resi, orang-orang baik itu, untuk menyudahi laku diam lalu berduyun turun dari ‘rumah di angin’.

Tentu, zalim serta merta mengkategorikan para resi itu sebagai penempuh jalan kedua seperti digambarkan Prof. Connie. Saya hampir yakin, beliau-beliau yang sudi berjalan di balik awan lalu turun ke bumi tidaklah dikipasi oleh sikap kebencian terhadap kekuasaan. Namun untuk yakin sepenuhnya, masih diperlukan satu hal, yakni memastikan para resi itu bukan pula termasuk rombongan penempuh jalan pertama, yakni golongan intelektual yang membangun relasi dengan kekuasaan atas dasar pemujaan pada kekuasaan itu sendiri. Apa maksudnya?

Saya dan publik umum lainnya perlu diyakinkan bahwa lantangnya suara kritis kerumunan para guru besar di dalam koalisi itu bukan dibakar api kecemburuan kepada kolega sesama guru besar-apalagi dengan yang berlainan mazhab keilmuan atau beda visi moral dan misi pragmatis-yang saat ini berada di pusat-pusat kekuasaan di cabang dan level manapun. Perlu diyakinkan pula, agar jangan sampai kelak terbukti bahwa sikap kritis pada kekuasaan itu dilakukan cuma sebagai pembungkus motif agar pendapat dan eksistensinya diperhitungkan, sembari ngarep ditawari atau ‘ditarik’ masuk ke pusaran kekuasaan.

Artinya, kendatipun berada nun jauh di pelosok batin dan secara diam-diam, rupanya tersimpan kehendak merealisasikan hasrat tinggi akan kuasa-pragmatisnya untuk menjadi bagian dari yang dikritik. Kalau itu terjadi, ya sudah, rusak! Pada akhirnya mereka (atau sebagian) layak digolongkan dalam rombongan penempuh jalan pertama yang sikapnya berakar dari pemujaan pada kekuasaan. Hanya saja, belum kelakon alias belum kesampaian. Tak terbayangkan apa jadinya bangsa ini bila intelektual kampus ramai-ramai meninggalkan tugas pokoknya dan larut dalam kenduri politik dan kekuasaan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait