Tak Ada Acuan Baku, Insolvency Test Sulit Diterapkan di Indonesia
Terbaru

Tak Ada Acuan Baku, Insolvency Test Sulit Diterapkan di Indonesia

Dua bidang ilmu akuntansi dan ekonomi memiliki teori insolvent yang berbeda.

Oleh:
Fitri Novia Heriani
Bacaan 4 Menit

“Insolvency selama ini banyak kita tekankan pada teknikal insolvency,  bisa ditekankan ke balanced-sheet insolvency. Di lain pihak ada cash flow insolvency, di mana perusahaan yang memiliki aset lebih besar daripada uang tapi tidak mampu bayar utang. Itu isu cash flow, karena mungkin utang dia macet tapi asetnya luar biasa tapi enggak punya uang untuk bayar utang, yang tidak dia punya itu cash. Kalau dilihat dari aturan perundang-undangan dia sudah bisa memenuhi syarat pailit meskipun asetnya banyak, ini seperti kasus telkomsel,” jelas Amir pada acara yang sama.

Sementara itu dari sisi ekonomi, insolven lebih dikenal dengan financial distress atau kesulitan keuangan di mana arus kas operasi perusahaan tidak cukup untuk memenuhi kewajiban saat ini, dan perusahaan dipaksa untuk mengambil tindakan korektif. Kesulitan keuangan dapat menyebabkan perusahaan gagal membayar kontrak, dan mungkin melibatkan restrukturisasi keuangan antara perusahaan, krediturnya, dan investor ekuitasnya.

Menurut Dewan Kode Etik Institut Akuntan Publik Indonesia, Budi Frensidy, perusahaan yang mengalami kesulitan keuangan hingga ekuitasnya negatif tidak selalu berarti insolvent. Perusahaan yang kesulitan keuangan biasanya melakukan restrukturisasi aset dan atau kapital.

Perusahaan dengan ekuitas negatif tidak berarti insolvent jika mereka masih dapat beroperasi dalam menghasilkan revenue. Di Bursa Efek Indonesia (BEI) emiten dengan ekuitas negatif dan rugi bersih hingga laporan keuangan terakhirnya masih tetap diburu investor. Ini berarti para investor masih percaya akan kemampuan emiten itu untuk tetap sebagai going concern dan memperoleh laba di kemudian hari.

Berkaca dalam emiten-emiten yang tercatat di Bursa Efek Indonesia, lanjut Budi, tidak ada permohonan pernyataan pailit untuk emiten-emiten yang berekuitas negatif di BEI. Separuh dari saham dengan ekuitas negatif masih aktif diperdagangkan bahkan satu menjadi top gainer.

Dari 40 saham dengan ekuitas negatif, sebanyak separuhnya yaitu 20 masih aktif diperdagangkan. Satu dari 20 saham itu bahkan menjadi salah satu top gainers dengan return YTD 453,7% dan YoY 808% padahal masih rugi untuk YTD. Hal ini membuktikan bahwa emiten dengan ekuitas negatif masih dipercaya para investor karena investor mengacu pada market value, bukan book value.

“Equitas negatif itu baru book value, investor acuannya market value. Cashflow negatif belum tentu neraca negatif, dan tetap bisa dihargai investor karena punya pangsa pasar yang bagus. Isuny kalau sudah tidak ada revue atau sell, itu yang membuat investor tidak bersedia lagi. Contohnya perusahaan startup kayak Gojek, itu ekuitas mereka negatif, berdarah-darah, tapi dihargai sama investor. Karena yang mereka beli itu future-nya,” papar Budi.

Tak adanya acuan baku membuat penerapan insolvency test dalam perkara PKPU dan kepailitan di Indonesia. Bahkan Ricardo mengungkap sembilan alasan yang membuat insolvency test tak cocok di Indonesia.

Tags:

Berita Terkait