Tanda Tangan Elektronik: Keabsahan dan Pembuktiannya di Hadapan Pengadilan
Utama

Tanda Tangan Elektronik: Keabsahan dan Pembuktiannya di Hadapan Pengadilan

Tanda tangan elektronik yang tersertifikasi statusnya berlaku hampir sama layaknya akta otentik. Sedangkan jika tidak tersertifikasi dalam proses pembuktian membutuhkan uji digital forensik. Dua-duanya diakui hukum, tapi kedudukannya jauh lebih kuat yang tersertifikasi.

Oleh:
Hamalatul Qur'ani
Bacaan 2 Menit

 

Sedangkan untuk tanda tangan elektronik yang tidak tersertifikasi, kata Teguh, maka pembuktiannya melalui uji digital forensik yang hasil ujinya akan dituangkan dalam bentuk berita acara pengujian digital forensik terhadap suatu sistem atau file atau dokumen yang diuji. Selanjutnya, sambung Teguh, ahli digital forensiknya juga bisa dihadirkan di persidangan untuk menjelaskan pengujian digital forensik tersebut.

 

“Akan tetapi memang kedudukannya jauh lebih kuat yang tersertifikasi (otentik) dibandingkan dengan yang tidak tersertifikasi. Tapi tetap, dua-duanya diakui secara hukum,” tukas Teguh.

 

Menurut pengamatan Teguh, untuk tanda tangan elektronik yang tersertifikasi ini akan sangat sulit untuk dipalsukan dan diduplikasi. Pasalnya, ada pengamanan untuk meng-enskripsi setiap bit dari sebuah tandatangan digital, metodenya bisa symmetric bisa juga asymmetric cryptography. Lain halnya dengan tandatangan digital yang tidak tersertifikasi, kata Teguh, kemungkinan manipulasi atau rekayasa sangat dimungkinkan, itulah mengapa dibutuhkan instrumen tambahan melalui digital forensik.

 

Marshall Pribadi menambahkan untuk menghasilkan pasangan kunci cryptography suatu tandatangan elektronik itu harus menggunakan Hardware Security Module (HSM). Bilamana HSM ini di hack baik secara fisik maupun remote atau tidak melalui akses yang sudah dirancang, jelas Marshall, maka HSM akan menghancurkan sendiri (self-destruct) semua key (kunci) yang disimpan disitu, termasuk master-key yang dimiliki penyelenggara sertifikasi elektronik.

 

“Jadi ini tingkat keamanannya di 3 level, yakni kombinasi hardware, software dan prosedur,” tukas Marshall.

 

Saat dikonfirmasi, Kabag Humas Mahkamah Agung (MA), Abdullah menyebut petunjuk teknis (SEMA) atas pasal 11 UU ITE tentang tandatangan elektronik memang belum dirumuskan, namun kedepan akan dilakukan perumusan secara bertahap.

 

“tapi belum sekarang, karena MA saat ini masih fokus untuk mempersiapkan aplikasi e-court atau gugatan elektronik, masih aplikasi-aplikasi untuk memberi kemudahan bagi pencari keadilan,” ungkap Abdullah kepada hukumonline, Rabu, (8/8).

 

Tetapi jika memang ada kasusnya, kata Abdullah, hakim tetap harus memproses perkara itu, tidak ada alasan tidak bisa diproses. Ketika terjadi hal yang baru, kata Abdullah, hakim dituntut mampu melakukan judicial activism untuk menggali hukum melalui berbagai referensi, jadi tidak hanya terpaku pada regulasi yang ada.

 

Tags:

Berita Terkait