Tantangan Mewujudkan Reforma Agraria
Utama

Tantangan Mewujudkan Reforma Agraria

Masih mengedepankan egosektoral. Melalui UU Cipta Kerja dianggap menjadi harapan. Tapi, sebagian pihak tetap merasa pesimis dengan upaya pemerintah dalam mereforma agraria.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit
Suasana webinar bertajuk 'Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi', Rabu (19/5/2021). Foto: RFQ
Suasana webinar bertajuk 'Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi', Rabu (19/5/2021). Foto: RFQ

Upaya reforma agraria sudah berjalan cukup lama sejak terbitnya Perpres No.86 Tahun 2018 tentang Reforma Agraria. Meski Perpres ini untuk mewujudkan pemerataan struktur penguasaan, pemilikan, penggunaan, dan penggunaan tanah, tapi Perpres ini dinilai belum memperjuangkan reforma agraria sejati. Pelaksanaannya menemui berbagai kendala dan tantangan, seperti tantangan siloisme.

“Reforma agraria itu tantangannya seperti yang kita tahu itu siloisme atau sektoral,” ujar Wakil Menteri (Wamen) Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), Surya Tjandra dalam webinar bertajuk Kebijakan Pertanahan antara Regulasi dan Implementasi”, Rabu (19/5/2021). (Baca Juga: Perpres Reforma Agraria Perlu Diperkuat Menjadi UU)

Dia melihat telah menjadi rahasia umum, masih banyaknya tumpang tindih aturan yang berdampak menyulitkan pemerintah membenahi tata administrasi pertanahan. Konflik kepentingan antara satu instansi dengan lainnya menjadi bagian yang tak terelakan. Pertama, tantangan siloisme atau terkotak-kotak satu bagian dengan lainnya antara lain sudut pandangan agraria yang masih bersifat sektoral.

Akibatnya, muncul pandangan bahwa agraria hanya menjadi pekerjaan sektoral internal ataupun eksternal. Padahal, dalam mereforma agraria pertanahan membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai kementerian dan lembaga terkait. Sehingga ada satu kesamaan pandangan dalam membenahi pertanahan di Indonesia.

Kedua, kendatipun target hanya tunggal mereforma agraria, sayangnya bisnis proses masih terpisah-pisah. Bahkan pendelegasian kewenangan terhambat lantaran alur informasi dan data, sumber daya dan anggaran tidak terpadu. Dia menegaskan reforma agraria merupakan pekerjaann besar yang sudah dimulai sejak lama, tapi lagi-lagi banyak kendala yang dihadapi.

Karenanya, dibutuhkan kerja sama dan dukungan dari semua kementerian dan lembaga terkait. Tak hanya Kementerian Agraria dan Tata Ruang (ATR)/Badan Pertanahan Nasional (BPN), namun juga pemerintah pusat dan daerah. Persoalan tanah di daratan terdapat dua rezim hukum yakni rezim pertanahan dan kehutanan yang memiliki sistemnya masing-masing. “Kita harus cari solusi siloisme ini. Gampang dibicarakan, sulit dieksekusi,” kata dia.

Dia merinci sejumlah tantangan atas berbagai persoalan. Seperti sengketa atau konflik, khususnya konflik lintas rezim peraturan yang mempersulit penyelesaian persoalan sengketa tanah. Kemudian pelepasan kawasan hutan. Menurutnya, luas kawasan hutan yang telah dipersiapkan perlu pengelolaan bersama. Bukan sebaliknya hanya mengedepankan ego sektoral dalam pengelolaannya.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait