Tantangan Pemasyarakatan Mengubah Pidana Mati dalam Masa Tunggu
Terbaru

Tantangan Pemasyarakatan Mengubah Pidana Mati dalam Masa Tunggu

Sebab bila gagal mengubah sikap dan perilaku terpidana mati, negara telah kehilangan anggaran, waktu, dan tenaga dalam melakukan pembinaan selama 10 tahun.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit

“Sehingga 10 tahun harus menjadi waktu yang sukes. Kemudian terakhir, setiap tahapan dalam pembinaan harus ada korelasi dengan tingkat pengamanan,” ujar mantan Dirjen Pemasyarakatan ini.

Ia menunjuk Permenkumham No.35 Tahun 2018 tentang Revitalisasi Penyelenggaraan Pemasyarakatan terkait narapidana yang dianggap memiliki risiko tinggi ditempatkan di Lapas Super Maximum Security. Progam pembinaannya berupa pembinaan kesadaran beragama, berbangsa dan bernegara, kesadaran hukum dan konseling psikologi. Dengan begitu, pihak Pemasyarakatan dapat mengontrol perubahan sikap dan perilaku, menerima pembinaan serta keterampilan yang diberikan.

Karenanya dibutuhkan dukungan penuh dari banyak pihak dalam mendukung substansi agar dapat sampai ke pihak terpidana mati. Ujungnya, kata Sri Puguh, terpidana mati mendapat reward berupa perubahan dari hukuman pidana mati menjadi seumur hidup. Tapi Sri Puguh mengakui Pemasyarakatan tak dapat bekerja sendiri dalam melakukan tugas berat tersebut. Karenanya perlu ada pihak lain yang terlibat menentukan penilaian dan mengubah jenis hukuman pidana mati menjadi seumur hidup.

“Agar pada waktunya tidak ada lagi kegaduhan kontra untuk mengubah hukuman pidana yang bersangkutan,” ujarnya.

Tapi begitu, pengaturan pidana mati sebagai pidana khusus yang diancamkan secara alternatif dalam draf RKUHP menjadi jalan tengah atau Indonesia Way. Sri Puguh menilai perlu memastikan Indonesia Way berjalan dengan baik. Setidaknya ada 3 langkah yang dapat diambil. Pertama, memastikan terpidana hukuman mati yang sekarang telah menjalani masa tahanan lebih dari 10 tahun diganti hukumannya menjadi penjara seumur hidup. Kedua, melakukan moratorium eksekusi hukuman mati sampai RKUHP disahkan. Ketiga, memastikan Lapas tetap melakukan pembinaan terhadap terpidana mati selama masa percobaan (special treatment).

Peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR) Iftitah Sari menilai masa percobaan 10 tahun terlampau panjang sebagai masa tunggu dan tidak dapat menjamin fenomena deret tunggu tidak terjadi. Contoh, praktik di Cina masa percobaan selama 2 tahun. Sementara rekomendasi riset Komisi Nasional (Komnas) HAM berdasarkan standar opersional prosedur (SOP) Pemasyarakatan hanya 5 tahun untuk melihat capaian pembinaan dalam Lapas.

Selain itu, kata Iftitah Sari, perlu memastikan komutasi dapat berlaku bagi setidaknya 79 terpidana mati yang telah berada dalam deret tunggu eksekusi selama lebih dari 10 tahun. Tak kalah penting, mengatur mekanisme penilaian (assessment) terhadap terpidana mati yang dapat menjalani komutasi oleh Tim Penilai yang dibentuk Menteri yang membidangi urusan hukum dan HAM.

Tags:

Berita Terkait