Tarik Ulur Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme
Berita

Tarik Ulur Revisi UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme

Sebagian beranggapan masih relevan, persoalan lebih kepada lemahnya koordinasi antar lembaga. Sebagian menilai ketimbang menerbitkan Perppu, maka atas nama tertib adminstrasi langkah merevisi adalah tepat. Pemerintah ditantang segera menyerahkan draf dan naskah akademik.

Oleh:
RFQ
Bacaan 2 Menit
Suasana penanganan teror bom di Sarinah. Foto: RES
Suasana penanganan teror bom di Sarinah. Foto: RES
Dorongan agar dilakukannya revisi terhadap UU No.15 Tahun 2003 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih tarik ulur. Kalangan anggota DPR pun masih berbeda pandangan terkait Revisi Undang-Undang (RUU) tersebut. Ada yang bilang UU 15/2003 masih tergolong relevan, tapi perlu dimasukan beberapa pasal tambahan.

Wakil Ketua Baleg Supratman Andi Agtas berpandangan, UU 15/2003 masih tergolong relevan dalam melakukan pemberantasan tindak pidana terorisme. Meski pemerintah melalui pimpinan DPR sudah mengusulkan pengajuan revisi, namun belum ada sikap resmi ke DPR dan Baleg.

“Kalau saya berpandangan bahwa UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme masih cukup relevan dan masih sangat baik untuk memberikan legitimasi Polri sebagai lembaga proyustisia untuk melakukan penegakan hukum di bidang terorisme,” ujarnya.

Anggota Komisi III itu berpendapat, dengan tidak melakukan revisi setidaknya tidak terjadi tumpang tindih dalam penanganan tindak pidana terorisme. Intelijen negara mestinya berkoordinasi penuh dengan melaksanakan tugas dan kewenangan sesuai dengan UU.

Koordinasi menjadi kunci utama dalam rangka melakukan tindakan preventif terhadap tindak pidana terorisme. Intelijen, dalam hal ini Badan Intelijen Negara (BIN) mesti memberikan data dan informasi akurat kepada pihak kepolisian terkait kemungkinan adanya gerakan radikal melakukan aksi teror. Tak hanya itu, Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) pun dalam melaksanakan program deradikalisasi mesti berjalan sinergis dengan kepolisian, termasuk upaya penegakan hukum.

“Kalau ini bisa dilakukan simultan, saya rasa tanpa mengubah UU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme pasti akan berhasil. Sejak kejadian bom natal di gereja-gereja, menurut saya kepolisian dalam pemberantasan tindak pidana terorisme sudah cukup berhasil,” ujar politisi Partai Gerindra.

Anggota Komisi III Muhammad Nasir Djamil menambahkan, pemerintah semestinya tidak reaktif merespon kelemahan dalam UU 15/2003 dengan mengelontorkan wacana revisi. Soalnya pemerintah masih dapat menerbitkan peraturan baru seperti Peraturan Pengganti Perundangan-Undangan (Perppu). Melakukan revisi justru akan membutuhkan waktu panjang. Sebaliknya dengan menerbitkan aturan semisal Perppu dapat dengan cepat untuk menyikapi kondisi kekinian.

Kendati demikian, ketika kekeuh ingin melakukan revisi, pemerintah segera mengajukan draf RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme. Dengan begitu, rancangan tersebut dapat masuk dalam daftar prioritas Prolegnas 2016. “Jika sudah masuk daftar prioritas 2016, DPR dan Pemerintah diharapkan berkomitmen untuk menyegerakan pembahasan paling tidak selama 3-6 kedepan,” ujarnya.

Politisi Partai Keadilan Sejahtera itu berpendapat, RUU Pemberantasan Tindak Pidana Terorisme setidaknya tak saja menjawab kekosongan hukum dalam penanggulangan terorisme ISIS, tetapi juga perbaikan menyeluruh terhadap pola penegakan hukum tindak pidana terorisme. Menurutnya, persoalan lemaknya koordinasi dan sinergi antar aparat penegak hukum menjadi bagian bobolnya dalam pencegahan peledakan bom oleh teroris.

Ia menilai tidak maksimalnya upaya pencegahan tindak pidana terorisme mesti menjadi poin perubahan UU 15/2003. Tak saja merespon aksi keberadaan ISIS, namun juga melengkapi aturan perbaikan pola penegakan hukum dalam penanganan tindak pidana terorisme.

Terpisah, Ketua MPR Zulkifli Hasan berpandangan menerbitkan Perppu mesti adanya syarat kegentingan memaksa. Ketimbang prokontra dalam menerbitkan Perppu, maka cukup melakukan revisi. Ia menilai dengan tertib aturan adalah dengan melakukan revisi UU. “Karena ini perluasan pencegahan sifatnya. Nampaknya presiden lebih sepakat dengan revisi UU itu karena tertib administrasi. Kalau Perppu ada prokontra presiden yang hadapi sendiri,” ujarnya.

Poin penting dalam revisi, Zulkifli mengusulkan perluasan di bidang pencegahan. Misalnya permufakatan jahat kendati belum terjadi peristiwa dapat dilakukan tindakan. Kemudian memperkuat peran kepala daerah dalam melakukan pencegahan. Pasalnya pelatihan militer oleh kelompok teroris biasa dilakukan di daerah pegunungan dan perbukitan.

“Kalau perluasan di bidang pencegahan saya setuju dan silakan saja,” pungkas politisi Partai Amanat Nasional itu.
Tags:

Berita Terkait