Teguh Satya Bhakti:
Hakim Muda, Pembatal SK Dua Hakim Konstitusi
Profil

Teguh Satya Bhakti:
Hakim Muda, Pembatal SK Dua Hakim Konstitusi

Utang budi coba dikesampingkan.

Oleh:
ALI
Bacaan 2 Menit
Foto: Facebook (diolah)
Foto: Facebook (diolah)
Dari segi popularitas, nama hakim yang satu ini mungkin tidak sementereng figur Artidjo Alkostar. Usianya masih terbilang muda, jalan kariernya pun belum begitu panjang. Apalagi, tempat dia berkarier adalah PTUN yang relatif 'kering' perkara dibandingkan pengadilan umum.

Namun, beberapa pekan lalu, Teguh Satya Bhakti tiba-tiba menjadi sentral pemberitaan ketika dia menjadi ketua majelis hakim yang membatalkan Surat Keputusan Presiden (Keppres) pengangkatan dua hakim konstitusi, Patrialis Akbar dan Maria Farida Indrati.

Hukumonline pertama kali menemuinya dalam sebuah seminar Forum Hakim Progresif di Universitas Sebelas Maret (UNS) pada akhir 2011 lalu. Ya, Teguh memang aktif dalam komunitas hakim yang mengaku beraliran progresif itu. Kala itu, Teguh menjadi hakim PTUN Semarang, Jawa Tengah. Lama tak bersua, Teguh kini bertugas di PTUN DKI Jakarta.

Dihubungi melalui sambungan telepon, Teguh mengaku tak memiliki perasaan apa-apa ketika pertama kali diserahkan tugas menangani perkara gugatan Keppres pengangkatan Patrialis dan Maria Farida ini. Pun, ketika dia harus ‘naik pangkat’ menjadi ketua majelis menggantikan Bambang Heriyanto yang dimutasi.

Bagi Teguh, perkara ini sebenarnya tak jauh berbeda dengan perkara-perkara lain yang pernah ditanganinya. “Perasaan saya sih pada prinsipnya sama saja. Hakim kan terikat pada asas tak boleh menolak suatu perkara, walau tak ada hukumnya. Apalagi, (perkara,-red) ini ada hukumnya, masa’ saya tolak,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (7/1).

Lebih lanjut, Teguh mengaku tak setuju bila ada yang mengkualifikasi perkara itu kecil atau besar. Ia lebih setuju bila kategorinya adalah kasus besar (hard case) atau kasus ringan (soft case). “Saya akui ini hard case karena bersinggungan dengan sistem ketatanegaraan kita,” ujarnya.

“Pada prinsipnya sama saja. Tapi, karena ini kasus yang agak berat, maka kami harus berpikir lebih dalam,” tambahnya.

Salah satu yang dipikirkan adalah kondisi Mahkamah Konstitusi (MK) saat ini. Pasca ditangkapnya Ketua MK Akil Mochtar oleh KPK, maka jumlah hakim MK hanya tinggal enam orang bila SK ini dibatalkan. “Itu kan faktor-faktor non yuridis yang menjadi bahan pertimbangan kita juga sebagai pisau analisis untuk melihat kasus konkret,” ujarnya.

Namun, toh, Teguh dan Hakim Anggota Tri Cahya Indra Permana -salah seorang hakim anggota Elizabeth Tobing menyatakan dissenting opinion- tetap berpendapat bahwa Keppres itu harus dibatalkan. 
Perjalanan Karier Teguh
No.PenugasanTahun
1 Cakim di PTUN Bandung Desember 2003
2 Hakim di PTUN Banjarmasin 2007 – 2010
3 Hakim di PTUN Semarang 2010 – Awal 2013
4 Hakim di PTUN Jakarta Awal 2013 – sekarang
Utang Budi
Posisi Teguh dalam perkara ini memang tergolong unik. Ia dulu pernah berperkara di MK sebagai pemohon pengujian Undang-Undang No. 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara. Goal-nya adalah untuk meningkatkan kesejahteraan hakim.

Ketika hakim-hakim lain ‘berteriak’ ingin melakukan demonstrasi dan bahkan ada yang mengancam mogok sidang, Teguh memilih jalur yang konstitusional, yakni dengan mengajukan ‘upaya hukum’ ke MK. Alhasil, MK mengabulkan judicial review itu yang menjadi pintu masuk perbaikan kesejahteraan hakim, dan dinikmati para hakim hingga kini.

Lalu, berutang budikah Teguh ketika mengadili gugatan Keppres Pengangkatan Patrialis dan Maria?

Teguh tegas menyatakan, tidak. Sesuai namanya, pendiriannya teguh. Bahwa keadilan harus dikedepankan. “Dalam memutus, saya selalu mengutip Sabda Nabi: Hati-hatilah terhadap tiga hal yang dapat merusak keadilan: yaitu penguasa dan rakyat miskin; kekayaan dan kemiskinan; kemuliaan dan kehinaan,” ujarnya.

“Berdasarkan prinsip itu, gara-gara yang saya adili peguasa, lalu saya jadi mengabaikan keadilan, saya tak mau seperti itu. Utang budi atau apa itu semua, saya coba kesampingkan,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait