Teladan Advokat Papua yang Tak Surut Komitmen Pro Bono
Utama

Teladan Advokat Papua yang Tak Surut Komitmen Pro Bono

Meski diliputi keterbatasan, asal ada kemauan membantu pasti bisa. Jika Papua bisa, bagaimana dengan advokat di wilayah Indonesia lainnya?

Oleh:
Norman Edwin Elnizar
Bacaan 2 Menit

Salah satu kisah pro bono Gustaf adalah saat membantu klien pro bono bebas dari tahanan. Kliennya yang miskin keluar penjara tanpa memiliki alas kaki. Gustaf pun membelikannya alas kaki dan memberi makan kliennya hingga tak lagi kelaparan. “Kepuasan tersendiri bagi kami. Dengan keterbatasan, asal ada kemauan membantu pasti bisa,” ujarnya.

Yohanes Mambrasar, partner di kantor Gustaf ikut mendapat penghargaan kategori The Most Inspiring Lawyer in the Field of Pro Bono Non-Litigation. Ia menyampaikan pendapat senada Gustaf. Tantangan melakukan pro bono di Papua harus diakui jauh lebih berat dibandingkan dengan wilayah Indonesia lainnya. “Tentu mempengaruhi kerja kami dalam menjangkau mereka yang membutuhkan, Papua tidak seperti Jawa yang mudah akses transportasinya,” ujar Yohanes. Hal tersebut jelas mempengaruhi biaya yang harus dikeluarkan untuk pro bono.

Yohanes bercerita kasus para buruh Freeport di wilayah Timika sementara kantornya ada di Jayapura. Hanya karena panggilan yang begitu kuat bisa membuatnya rela jauh-jauh ke lokasi klien pro bono. “Ini soal panggilan hati, kepedulian sosial kita, apalagi di Papua banyak persoalan HAM,” kata advokat berusia 30 tahun ini.

Kantor Advokat/Pengacara Gustaf Rudolf Kawer, S.H.,M.Si. dan Rekan punya kesepakatan menyisihkan honorarium untuk subsidi kasus pro bono. Kerap kali mereka juga menyiasati biaya perjalanan luar kota untuk kasus komersial sambil menangani kasus pro bono di lokasi yang sama. Tak jarang Gustaf melobi pengadilan agar menjadwalkan persidangan klien pro bono dan klien komersial mereka di hari yang sama.

(Baca juga: Meneropong Kantor-Kantor Advokat Hukum Pegiat Pro Bono di Indonesia).

“Kami sepakat kalau ada kasus masuk tanpa uang, kami akan tetap terima. Orang kira kami punya uang, padahal pakai strategi,” ungkap Gustaf sambil tertawa. Advokat yang menempuh studi magister resolusi konflik di Universitas Gadjah Mada ini berharap advokat berperan besar membantu masyarakat. Misalnya untuk berbagai masalah hak asasi manusia di Papua yang masih menyisakan catatan buruk.

Ketika ditanya soal harapan terhadap organisasi advokat, Gustaf mengingatkan soal peran yang dilalaikan hingga sekarang. “Kami heran kenapa elit di Jakarta bikin banyak organisasi advokat. Bagaimana mau perhatikan pro bono kalau konsentrasinya habis di konflik organisasi?,”

Gustaf berharap organisasi advokat bisa kompak menuju wadah tunggal. Baginya hal itu membuat mudah dikontrol dalam meningkatkan pelayanan konsumen. Terutama juga meningkatkan pelayanan pro bono para anggotanya.

Secara khusus ia mengapresiasi Hukumonline Award. “Seharusnya organisasi advokat memberi apresiasi Hukumonline, seharusnya penghargaan ini dilakukan organisasi advokat,” katanya. Meskipun mengaku tetap akan menunaikan pro bono tanpa ada penghargaan khusus, Gustaf mengaku ajang semacam Hukumonline Award bermanfaat besar.

Adanya penilaian dapat mendorong kerapihan dan tertib administrasi laporan kegiatan pro bono. “Misalnya kantor kami, begitu ada survei Hukumonline baru kami kumpulkan semua data, ternyata ada dan bisa ikut, terima kasih,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait