Tembok Berlin dan Pintu Doraemon Disinggung dalam Disertasi Dosen Hukum Bisnis Ini
Terbaru

Tembok Berlin dan Pintu Doraemon Disinggung dalam Disertasi Dosen Hukum Bisnis Ini

Ketidakjelasan batasan pembangunan perumahan berskala besar menimbulkan ketidakadilan.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 3 Menit
Sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum Erni Herawati di Fakultas Hukum UI, Kamis (19/1/2023). Foto: MYS
Sidang terbuka promosi doktor ilmu hukum Erni Herawati di Fakultas Hukum UI, Kamis (19/1/2023). Foto: MYS

Peristiwa runtuhnya Tembok Berlin (Berliner Mauer), lebih dari 33 tahun lalu, adalah peristiwa yang tetap dikenang dalam sejarah. Tembok itu dibangun Jerman Timur, dan menyebutnya sebagai benteng anti-fasis (antifaschistischer schulzwall), untuk memisahkan kedua negara. Tembok adalah simbol pemisah yang bukan saja membedakan, tetapi juga menghambat lalu lintas warga Jerman Timur dan Jerman Barat. Runtuhnya tembok disusul reunifikasi kedua negara, dan tidak ada lagi hambatan bagi warga untuk berinteraksi.

Erni Herawati membawa kisah ‘Tembok Berlin’ itu ke Depok, ketika mempertahankan disertasi ilmu hukumnya dalam sidang terbuka di Fakultas Hukum Universitas Indonesia, pada Kamis (19/1/2023) lalu. Erni menghubungkan keberadaan ‘Tembok Berlin’ dengan ketidakadilan yang dialami warga yang tinggal berdekatan dengan kompleks perumahan skala besar. Sayangnya, minimnya kebijakan yang reponsif dari pemerintah daerah memicu munculnya persoalan hukum dan sosial. “Batas-batas wilayah antara perkampungan lokal dengan perumahan skala besar secara nyata dapat dilihat dari keberadaan ‘tembok berlin’,” simpul Erni.

Dosen Jurusan Hukum Bisnis Universitas Bina Nusantara itu tidak sedang menceritakan ulang peristiwa Tembok Berlin yang sesungguhnya. Tembok berlin adalah istilah yang dipakai warga untuk mengasosiasikan tembok pemisah yang dibangun pengembang perumahan skala besar dengan perkampungan penduduk. Kisah tembok berlin adalah bagian dari disertasinya yang berjudul ‘Implementasi Kebijakan Penguasaan Tanah Perumahan Skala Besar dan Implikasinya Terhadap Nilai Tanah dan Masyarakat Kota Tangerang Selatan’. Erni berhasil mempertahankan disertasi itu di hadapan promotor, co-promotor, dan tim penguji.

Adalah anggota tim penguji, Prof. Rosa Agustina, yang meminta Erni menceritakan konteks tembok berlin dan ‘Pintu Doraemon’. Dengan menggunakan metode sosiolegal, Erni memetakan persoalan yang muncul terkait kebijakan penguasaan tanah perumahan berskala besar di Tangerang Selatan. Di kota ini, 80 persen pembangunan dilakukan oleh pengembang. Luasnya okupasi lahan untuk pengembangan perumahan itulah yang memunculkan ketidakadilan, dan berpotensi memicu konflik sosial. Pintu Doraemon adalah ‘solusi’ atas protes warga terhadap pembangunan tembok berlin. Tembok membatasi akses warga sehingga mereka harus memutar jauh apabila ingin ke luar.

Pintu Doraemon adalah pintu akses yang hanya bisa dilewati satu motor. Walhasil, pada saat-saat jam sibuk ada antrian keluar/masuk warga yang hendak melewati Pintu Doraemon. Sempitnya akses tersebut, berdasarkan penelitian Erni, berimbas pada harga tanah. “Keterbatasan-keterbatasan ini membuat nilai tanah dan harga jual rumah di perkampungan tersebut berpotensi menurun, yang berarti berbanding terbalik dengan nilai tanah di perumahan skala besar,” papar Erni dalam disertasinya.

Lewat penelitiannya, Erni berusaha memetakan kebijakan terkait pengembangan perumahan berskala besar. Kebijakan yang disorot berkenaan dengan penguasaan tanah, nilai tanah, dan dampaknya pada masyarakat sekitar. Kebijakan penguasaan tanah untuk perumahan dan permukiman belum memiliki aturan tentang batas maksimal bagi pengembang untuk menguasai tanah. Akibat ketiadaan aturan yang jelas, pengusaha berpeluang menguasai lahan yang sangat luas. Kebijakan terkait perumahan skala besar belum memadai. UU No. 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman menyebutkan perumahan skala besar adalah perumahan yang direncanakan secara menyeluruh dan terpadu yang pelaksanaannya dilakukan secara bertahap. Menurut Erni, konsepsi dan regulasi pelaksanaan pembangunan perumahan skala besar belum jelas.

Ketiadaan kebijakan mengenai batas maksimum penguasaan tanah dan pengusahaan tanah di perumahan skala besar dan tidak dijalankannya kewajiban hunian berimbang berdampak [ada munculnya dominasi penguasaan tanah. Konsekuensi lanjutannya, tidak tersedia rumah harga terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah di kota Tangerang Selatan. Sehubungan dengan itu, Erni mengusulkan agar pemerintah memaksimalkan instrumen pengendali penataan ruang, dan membuat regulasi yang jelas tentang pembatasan penguasaan tanah terutama batasan pembangunan perumahan skala besar.

Tags: