Tepatkah Pasal yang Disangkakan ke Ahok? Ini Kata ICJR dan Setara Institute
Berita

Tepatkah Pasal yang Disangkakan ke Ahok? Ini Kata ICJR dan Setara Institute

Penerapan Pasal 28 ayat 2 UU ITE lebih tepat dikenakan kepada orang-orang yang pertama kali menyebarkan video, yang pertama mengunggah dan orang yang pertama kali menyebarkan. Sementara penggunaan Pasal 156a KUHP, sejak awal juga tidak tepat.

Oleh:
CR21/CR22
Bacaan 2 Menit
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) usai diperiksa penyidik Bareskrim di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/11).
Gubernur DKI Jakarta nonaktif Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) usai diperiksa penyidik Bareskrim di Mabes Polri, Jakarta, Senin (7/11).
Kepolisian Republik Indonesia, melalui Kepala Badan Reserse Kriminal (Kabareskrim) Komjen Ari Dono Sukamto, Rabu (16/11) menyampaikan kesimpulan hasil gelar perkara penyelidikan terhadap kasus dugaan penistaan agama yang dituduhkan kepada Gubernur non aktif DKI Jakarta Basuki Tjahaya Purnama alias Ahok. Kesimpulan hasil gelar perkara kasus penistaan agama ini menetapkan Ahok sebagai tersangka dan menetapkan agar kasus itu diteruskan ke pengadilan.

Pasal yang disangkakan kepada Ahok adalah Pasal 156 a KUHP Jo Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No.11 tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE). Pasal 156 a KUHP menyatakan dipidana dengan pidana penjara selama-limanya lima tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan: a. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia; b. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apa pun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sedangkan Pasal 28 ayat 2 UU ITE menyatakan, setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA). (Baca Juga: Kronologi Ditetapkannya Ahok Sebagai Tersangka oleh Polri)

Menangggapi hal ini, peneliti senior Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Anggara Suwahyu, berpendapat penggunaan Pasal 28 ayat 2 UU No.11 Tahun 2008 tentang ITE tidak tepat dikenakan kepada Ahok. “Pertama, yang menyebabkan pernyataan itu tersebar di internet bukan Ahok, melainkan Pemprov DKI karena video tersebut berasal dari pemprov DKI,” ujarnya kepada hukumonline, Rabu (17/11).

Menurut Anggara, penerapan pasal tersebut justru lebih tepat dikenakan kepada orang-orang yang pertama kali menyebarkan video tersebut, yakni orang yang pertama mengunggah dan orang yang pertama kali menyebarkan. Sementara penggunaan pasal 156a KUHP, menurut Anggara, sejak awal juga tidak tepat.

“Niat jahatnya itu tidak ada dalam perbincangan dia (Ahok, -red) di kepulauan seribu sehingga seharusnya tidak perlu ada penetapan tersangka,” kata Anggara. (Baca Juga: Pengacara Pastikan Ahok Tak Akan Ajukan Praperadilan)

Lebih lanjut, Anggara mengatakan bahwa kasus ini tidak tepat ditujukan kepada Ahok dan Penmprov DKI Jakarta karena tidak ada niat jahat. Menurutnya, aktifitas mengunggah video kegiatan gubernur ke media sosial bukanlah tindakan yang memiliki niat jahat.

“Kejahatan yang bersangkutan dengan ekspresi pada umumnya harus ada mens rea, Pemda DKI berupaya agar setiap kegiatan yang dilakukan oleh Gubernurnya itu bisa dilihat semua orang, ya caranya melalui video itu direkam kemudian diunggah ke Internet”.

Anggara mengatakan, penerapan Pasal 156 a KUHP dan Pasal 28 ayat 2 Undang-Undang No 11 Tahun 2008 tentang ITE sebenarnya sama, yakni perlu memperhatikan adanya mens rea. “Kalau KUHP kan sebenarnya dia tidak membutuhkan medium apapun, pokoknya dia berbicara di depan umum,” terang Anggara.

Sementara, lanjut Anggara, Pasal 28 ayat 2 UU ITE fokusnya adalah menggunakan sarana telekomunikasi, sehingga perlu diperhatikan apakah Pemprov DKI mengunggah video gubernurnya sendiri atas nama Pemprov DKI dengan disertai niat jahat. (Baca Juga: Tak Terima Disebut ‘Pengacara’ Ahok, Junimart: Jangan Asal Melapor ke MKD)

“Itukan tidak mungkin. Yang paling mungkin adalah yang kemudian menyebarluaskan video tersebut,” ujarnya.

Sementara, untuk tindakan yang menyebarkan video tersebut dengan niat jahat sebagai niat memprovokasi tidak bisa digolongkan sebagai tindakan penodaan agama melainkan penyebaran kebencian. “Kalau Pasal 28 ayat 2 UU ITE kan agak umum, konteksnya tidak hanya penodaan agama,” kata Anggara.

Anggara mengingatkan bahwa dalam konteks KUHP terdapat perbedaan antara penodaan agama dan penyebaran kebencian. Menurutnya, bila yang menyebarkan video itu kemudian menambahi kalimat yang bernada penyebaran kebencian terhadap kelompok lain, itu yang seharusnya dihukum. “Bukan soal yang mengunggah videonya,” tutup Anggara. (Baca Juga: Bantuan Hukum dan Advokasi PDIP Kecewa, Ahok Berpotensi Ajukan Praperadilan)

Sementara itu, Ketua Setara Institute, Hendardi, mengatakan penetapan status tersangka atas Basuki Tjahaya Purnama dalam kasus dugaan penodaan agama adalah preseden buruk bagi promosi pemajuan kebebasan beragama/berkeyakinan di Indonesia karena penegakan hukum atas dugaan penodaan agama tidak sepenuhnya dijalankan dengan mematuhi prinsip due process of law.

"Penggunaan Pasal 156a KUHP jo Pasal 28 (1) UU 11/2008 tentang ITE, di tengah kontestasi politik Pilkada DKI, menegaskan bahwa Basuki terjebak pada praktik politisasi identitas yang didesain oleh kelompok-kelompok tertentu," kata Hendardi.

Namun demikian, sebagai sebuah negara demokrasi, apapun keputusan Polri adalah produk institusi penegak hukum yang harus diapresiasi dan dihormati apalagi telah dilakukan secara terbuka dan akuntabel.

Tags:

Berita Terkait