Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus
Putusan MK

Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus

Lantaran terikat dengan konvensi internasional tentang narkotika, Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati. Pengajuan judicial review oleh WNA menjadi perdebatan hakim.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit

 

Tanpa menafikkan realitas perkembangan hukuman mati di berbagai negara, MK juga memandang dinamika hukum internasional seperti ICCPR, Rome Statue of International Criminal Court, dan deklarasi HAM Eropa, ternyata masih memungkinkan diterapkannya hukuman mati.

 

MK dalam putusannya meminta agar hukuman berkekuatan hukum tetap bagi terpidana mati segera dilaksanakan.  "Demi kepastian hukum yang adil, MK sarankan agar semua pidana mati yang telah berkekuatan hukum tetap segera dilaksanakan sebagaimana mestinya," ujar Ketua MA Jimly Asshiddiqie yang sampai mengulang dua kali pernyataan seakan hendak memberi penegasan. 

 

Hanya periksa WNI

Uji materiil terhadap hukuman mati yang diancamkan dalam UU Narkotika itu diajukan oleh lima pemohon yang terdiri atas dua berkas terpisah. Berkas pertama diajukan oleh dua terpidana mati warga negara Indonesia yakni Edith Yunita Sianturi dan Rani Andriani serta dua warga negara Australia terpidana mati kasus Bali Nine, Myuran dan Andrew Chan. Berkas satunya dimohonkan oleh satu terpidana mati kasus Bali Nine lainnya yang juga warga negara Australia, Scott Anthony Rush.

 

MK hanya memeriksa pokok permohonan uji materiil yang diajukan oleh dua WNI, Edith dan Rani. Dalam putusannya MK menyatakan tidak menerima permohonan yang diajukan oleh WNA warga negeri Kangguru, yaitu Myuran Sukumaran, Andrew Chan, serta Scott Anthony Rush.

 

MK berpendapat, pasal 51 ayat 1 UU MK telah secara tegas dan jelas menyatakan, yang dapat mengajukan permohonan uji materiil UU terhadap UUD 1945 adalah perorangan atau kelompok WNI yang memiliki hak konstitusional yang diberikan oleh UUD 1945.  

 

Meski pintu untuk mengajukan permohonan uji materiil terhadap UUD, MK menyatakan, para ekspatriat masih dapat memperoleh perlindungan hukum melalui upaya hukum seperti banding, kasasi, dan peninjauan kembali.

 

Hampir separuh majelis DO

Dalam putusan itu, empat hakim konstitusi menyatakan pendapat berbeda (dissenting opinion). Keempat hakim yang menyatakan DO adalah H Harjono, Achmad Roestandi, Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan.

Tags: