Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus
Putusan MK

Terikat Konvensi Internasional, Hukuman Mati Mesti Jalan Terus

Lantaran terikat dengan konvensi internasional tentang narkotika, Indonesia tetap memberlakukan hukuman mati. Pengajuan judicial review oleh WNA menjadi perdebatan hakim.

Oleh:
NNC
Bacaan 2 Menit

 

Harjono khusus menyoroti soal kedudukan hukum para WNA. Harjono menganggap bahwa WNA memiliki kedudukan hukum untuk menguji materiil sebuah UU terhadap UUD 1945. Alasannya, jaminan hak asasi manusia dalam UUD memberikan jaminan pada setiap orang yang tidak dibatasi pada kewarganegaraan. Dalam Hal ini, mesti dibedakan antara UU yang semata-mata ditujukan untuk WNI semata, untuk  WNA, dan UU yang ditujukan baik untuk WNA maupun WNI.

 

Menurut Harjono, UU Narkotika merupakan UU yang ditujukan baik untuk WNA maupun WNI, sehingga jika ada WNA mengajukan uji materi sementara tidak ada WNI mengajukannya, maka MK akan serta merta menolak atas dasar Pasal 51 ayat(1) UU MK. Padahal, ujar Harjono, MK seharusnya membarikan status legal standing tanpa harus mengabulkan permohonan untuk menyatakan Pasal 51 Ayat (1) UU MK bertentangan dengan UUD 1945, tapi cukup dengan menafsirkan secara luas ketentuan dalam Pasal itu.

 

Sama dengan Harjono,  Laica Marzuki dan Maruarar Siahaan juga memandang bahwa pemohon WNA memiliki kedudukan untuk  mengajukan uji materiil. Laica menganggap bahwa permohonan WNA tentang UU Narkoba terkait dengan hak untuk hidup yang melekat pada tiap diri manusia (basic right). Sehingga ujarnya, Basic right tidak dapat disimpangi oleh Undang-udang, wet, Gezetz. Laica menengok pada putusan MK di Jerman dan Mongolia yang mengabulkan permohonan WNA. Memberlakukan pasal itu dalam perkara ini berarti menghambat upaya setiap orang memohonkan pengujian UU terhadap basic right yang dijamin konstitusi, simpulnya.

 

Dalam pokok perkara, Laica menyatakan bahwa permohonan semestinya dikabulkan. Ia menyorot kisah klasik  termashyur dari negeri Napoleon. Di abad-18, Jean Calas dihilangkan ajalnya oleh pengadilan Toulouse, Perancis. Ia dihukum karena didakwa membunuh puteranya tanpa terbukti melakukan pembunuhan yang didakwakan. Menyitir dari Bonesana Beccaria, ahli hukum berkebangsaan Italia dalam bukunya Dei delitti e delle pene (1764), pidana mati bertentangan dengan du contract social. Negara tidak berhak memidana mati seseorang, sebab pencegahan kejahatan mestinya melalui upaya pendidikan, ujar Laica dalam putusan.

 

Sementara Achmad Roestandi berpendapat hak hidup tidak bisa dikurangi oleh apapun. Alasan bahwa kesalahan pemidanaan mati tidak dapat dipulihkan lantaran si terpidana sudah hilang ajal, mestinya turut dipertimbangkan MK. Sebab, hukuman mati seperti diterapkan dalam negara-negara muslim masih mengakui keadaan dosa bagi aparat penegak syariah. Kesalahan pemidanaan mati, dalam syariah, diyakini bahwa dosa akibat kesalahan itu tetap akan diperhitungkan di akhirat nanti. Oleh karena itu, saya memahami bahwa norma agama membolehkan penjatuhan pidana mati bagi pelaku kejahatan tertentu, ujar Roestandi.

 

Roestandi juga mengaku hanya diamanati untuk menguji UU terhadap konstitusi, sehingga ia tidak bisa menguji ketentuan UU dengan merujuk pada perjanjian, konvensi maupun kebiasaan internasional.

 

Maruarar Siahaan dalam pendapat berbedanya melakukan analisis ekonomi dalam hukum. Menurutnya, tidak terdapat pembenaran detterent effect (efek jera, red) yang diharapkan dari pidana mati secara rasional, proporsional dan masuk akal yang dapat dijadikan dasar menyimpangi dasar filosofis moral konstitusi.

 

Perhatian untuk memberantas kejahatan narkotika semestinya diarahkanpada biaya atau anggaran dari criminal justice system, termasuk biaya anggaran operasi untuk mendeteksi atau menangkap pelaku kejahatan dan biaya sanksi. Dia mencontohkan, dengan meningkatkan kemungkinan terdeteksinya kejahatan, misal dua kali lipat, maka ongkos kejahatan yag mesti dipikul penjahat akan berlipat dua.

 

Tags: