Terpilih Menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB, Koalisi Ingatkan PR Indonesia
Berita

Terpilih Menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB, Koalisi Ingatkan PR Indonesia

Khususnya berkaitan dengan pelanggaran HAM berat masa lalu.

Oleh:
RED
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi (BAS)
Ilustrasi (BAS)

Sambutan baik atas terpilihnya Indonesia sebagai Anggota Tidak Tetap Dewan Keamanan Perserikatan Bangsa-Bangsa (DK PBB)/United Nations Security Council (UNSC) Non-Permanent Member pada Sidang Umum Majelis PBB/United Nantions General Assembly (UNGA) mulai berdatangan. Meski Indonesia memenuhi syarat untuk menjadi Anggota Tidak Tetap DK PBB, tapi ada pekerjaan rumah (PR) bagi Indonesia yang mesti diselesaikan terlebih dahulu khususnya berkaitan dengan bidang hak asasi manusia (HAM).

 

“Hal ini harusnya menjadi rujukan sekaligus uji keyalakan bagi Indonesia untuk terpilih sebagai Anggota Tidak Tetap DK PBB,” tulis Koalisi Masyarakat Sipil dalam siaran persnya yang diterima Hukumonline, Sabtu (9/6).

 

Jika dibandingkan Maladewa (mewakili Asia-Pasifik), secara historis Indonesia memiliki keunggulan karena pernah menjadi Anggota Tidak Tetap PBB pada tiga periode 1973-1974, 1995-1996, dan yang paling terakhir 2007-2008. Selain itu, sedari 2016, Indonesia sudah aktif melakukan kampanye terbuka dalam berbagai kesempatan pertemuan bilateral dan multilateral atau pun di dalam forum internasional.

 

Namun sayangnya, modal konstelasi politik global dan prosedural yang dimiliki Indonesia tersebut tidak berbanding lurus dengan kondisi faktual yang terjadi di dalam negeri. Pemerintah Indonesia masih memiliki banyak pekerjaan rumah yang harus dibenahi terlebih dahulu, khususnya dalam bidang HAM. “Satu permasalahan yang belum pernah bisa diselesaikan oleh pemerintah Indonesia adalah terkait pelanggaran HAM berat masa lalu.”

 

Padahal, komitmen untuk menyelesaikan kasus-kasus pelanggaran HAM berat masa lalu sudah terurai pada “Nawa Cita” yang merupakan dokumen visi misi Joko Widodo-Jusuf Kalla. Namun, komitmen tersebut ternyata terpatahkan, hal ini ditunjukkan dari distribusi kekuatan politik hari ini, di mana Presiden Joko Widodo memilih beberapa terduga pelanggaran HAM untuk menempati posisi strategis dalam pemerintahan.

 

Selain itu, pada 1 Juni 2018 lalu, pernyataan Jaksa Agung HM Prasetyo yang bersikukuh mengatakan bahwa kasus pelanggaran HAM masa lalu ini sulit diselesaikan secara yudisial. Solusi kilat yang ditawarkan oleh Menko Polhukam Wiranto, yakni Dewan Kerukunan Nasional (DKN) pun tidak memenuhi standar UU No. 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM.

 

Hal lainnya, Indonesia masih enggan untuk meratifikasi Statuta Roma juga menjadi catatan tersendiri bagi UNGA bahwa 20 tahun semenjak reformasi, problematika domestik Indonesia tidak beranjak dari isu HAM. Situasi lain yang perlu dijadikan bahan pertimbangan adalah terkait praktik hukuman mati di Indonesia.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait