The Days of Living Dangerously
Tajuk

The Days of Living Dangerously

​​​​​​​Vaksin dan obat akan menjadi senjata terakhir karena mereka masih dalam perjalanan yang belum jelas betul destinasinya.

Oleh:
RED
Bacaan 11 Menit

Terlepas dari niat baik untuk melindungi warganya dari bahaya Covid-19, dalam jumlah berapapun vaksin akan segera diproduksi, banyak ahli meramal bahwa tidak akan semua penduduk dunia bisa mendapat vaksin. Survei CNN baru-baru ini menyimpulkan bahwa hanya 66% dari warga Amerika akan mendapat vaksin setelah nanti vaksin tersedia. AS, negara raksasa dengan dana berlimpah dan infrastruktur canggih hanya bisa melindungi 66% dari warganya. Bisa dibayangkan, bagaimana negara berkembang dengan dana terbatas dan dukungan infrastruktur yang minim serta kondisi geografis yang unik bisa melakukan perlindungan yang sama kepada warganya. 

Masalah lainnya, seberapa efektif vaksin yang segera tersedia ini bisa melindungi mereka yang sudah mendapatkan vaksin. Bagaimana mutasi virus ini terjadi di sejumlah lokasi, berapa kali dan berapa banyak dosis harus diberikan, kepada orang seperti apa (umur, kondisi kesehatan) ini bisa diberikan, berapa lama masa efektif perlindungannya, dan apa efek samping jangka pendek, menengah dan panjangnya. Ini semua tidak ada satupun negara, organisasi dan ahli yang bisa menjawabnya saat ini.  Para ahli mempelajari semua ini sambil mengambil tindakan-tindakan kedaruratan. Apa yang dilakukan oleh suatu rumah sakit di New York, Teheran, Jakarta, Wuhan, Milan dan Seoul untuk merawat pasien mereka mungkin akan berbeda. Dunia seperti berjalan dengan jarak pandang 1 meter di depan, setiap langkah akan diperhitungkan dengan cara dan reaksi yang berbeda. 

Umat manusia, dalam sejarah modern, berhasil mengendalikan hanya satu penyakit, yaitu cacar air (smallpox) dengan vaksin, itupun memakan waktu ratusan tahun. Tentu teknologi sekarang jauh lebih maju, dan jangka waktu itu bisa dipersingkat dengan semua metoda baru yang canggih. Meskipun demikian tetap tidak ada yang bisa tahu, paling tidak sekarang, berapa lama kita akan berhasil mengatasi pandemi Covid-19. Para ahli mengatakan bahwa Covid-19 akan tetap bersama kita sampai jangka waktu yang lama, seperti halnya virus influensa.

Setiap negara, setiap komunitas, besar dan kecil kini mulai melakukan adaptasi dengan pandemi ini. Yang harus menjadi kesepakatan bersama kiranya dapat disederhanakan seperti ini:

a) Sejumlah negara berhasil menekan laju penyebaran virus ini (Tiongkok, Korsel, Taiwan, New Zealand, Vietnam, Rwanda), tetapi sebagian negara masih berjuang keras melandaikan peningkatan infeksi (AS, Brazil, India, Afrika Selatan, dan juga Indonesia). Artinya, penekanan jumlah infeksi sampai kemudian melandai dan sedapat mungkin mengecil bisa berlangsung sampai 2 tahun ke depan, yang mengharuskan semua penduduk dunia, tanpa kecuali, mengubah cara hidupnya untuk selalu waspada akan kemungkinan terinfeksi. Cara hidup, cara bekerja, cara bersosialisasi, hubungan antar keluarga, cara pemerintah dan lembaga negara bekerja dan berkomunikasi, cara dunia usaha melakukan kegiatannya, dan sikap pribadi kita masing-masing dalam hubungannya dengan "yang bukan saya", menjadi berubah dan harus disesuaikan. Kalau perubahan ini, yaitu ketaatan akan protokol anti penularan Covid-19 dilakukan oleh setengah saja dari penduduk dunia, maka penekanan penularan bisa dilakukan secara perlahan, apalagi kalau kita bisa mendisiplinkan 70% lebih penduduk dunia; maka penurut para ahli kita dalam 2-3 tahun ke depan akan bisa menundukkan virus ini.

b) Banyak terjadi perdebatan dalam kebijakan penanganan krisis ini mengenai apakah pandemi ini harus ditangani sebagai suatu krisis kesehatan atau krisis ekonomi, dan mana yang harus didahulukan penanganannya. Perkembangan dunia saat ini menunjukkan kecenderungan yang mendahulukan penanganan krisis ini sebagai krisis kesehatan, terlepas diakui atau tidak, atau dilaksanakan dengan efektif atau tidak di lapangan. Perdebatan ini harus dihentikan. Kita sadar bahwa tidak mungkin kita membangun ekonomi kalau masyarakatnya sakit, takut berinteraksi, dan hanya memikirkan keselamatan sendiri. Prioritas utama harus diutamakan menangani masalah kesehatan, dengan biaya berapapun sepanjang akuntabilitas terjaga. Ketika masyarakatnya kembali sehat, walaupun belum seluruhnya, angkatan kerja yang sehat dan produktif akan mampu membangun kembali ekonomi yang babak belur.

Obsesi bahwa suatu negara harus menjadi negara terdepan ekonominya dalam forum G-20 atau ukuran lain harus dilupakan sementara ini. Para pengambil kebijakan, dan kita yang mengawasi, harus mulai sadar dan merasakan sendiri pilu dan sedihnya bahwa orang-orang yang kita kenal baik, bahkan mungkin anggota keluarganya, satu persatu meninggalkan kita karena virus ini. Ini harus dijadikan pemicu untuk memfokuskan kita pada usaha menyehatkan masyarakat kita dan mendidik mereka untuk hidup dengan cara baru yang lebih bertangung jawab untuk diri sendiri dan sekitar kita. Ketika saat ini jumlah dokter kita yang meninggal karena virus ini sudah mencapai 115 orang dan perawat kita 78 orang, kita merenung bahwa kehilangan satu saja dari mereka adalah kehilangan besar buat kita. Mereka bukan statistik, mereka adalah para pahlawan penyelamat di garis terdepan yang harus dilindungi. Kehilangan mereka akan dapat melumpuhkan sistem kesehatan kita. Kehilangan mereka akan mengurangi tingkat keberhasilan kita mengerem laju penularan dan kematian karena virus ini. Jadi berhentilah berdebat mana yang lebih penting, dan tunjukkan pemihakan pada penanganan krisis kesehatan dengan kebijakan dan perbuatan nyata.

c) Pengurangan laju penularan tersebut mungkin bisa dipercepat dengan ditemukannya vaksin sekali suntik yang efektif dengan masa proteksi yang cukup panjang. Sampai dengan saat ini, jaminan itu belum ada. Vaksin ternyata punya bendera, punya nasionalitas, sarat kepentingan menomor-satukan negaranya sendiri. Banyak negara dengan kemampuan untuk membuat dan memproduksi vaksin dalam jumlah besar mengajukan klaim bahwa ini adalah vaksin mereka dan ikut pula diperlombakan. Kita membaca bahwa AS melancarkan "Operation Warp Speed" di mana mereka mengerahkan mega dana dan semua upaya untuk memborong vaksin dan obat-obatan dari sumber manapun di dunia. Kita, juga banyak negara lain, tidak akan mampu melakukan itu. Pertama, dana kita terbatas. Kedua, kita belum mampu membuat dan memproduksi sendiri vaksin 'merah-putih". Dan ketiga, akses kita ke negara produsen lain, baik dengan program G to G, G to B atau B to B, tidak akan bisa mengumpulkan vaksin sebanyak 265 juta atau dua kalinya (kalau harus disuntikkan dua kali) dalam waktu singkat. 

Tags:

Berita Terkait