The Days of Living Dangerously
Tajuk

The Days of Living Dangerously

​​​​​​​Vaksin dan obat akan menjadi senjata terakhir karena mereka masih dalam perjalanan yang belum jelas betul destinasinya.

Oleh:
RED
Bacaan 11 Menit

Pemerintah mengumumkan bahwa kita akan mendapatkan 20-30 juta vaksin dari Tiongkok pada akhir tahun ini. Pertanyaan pertama, kalau dibutuhkan dua kali injeksi, maka ini hanya bisa dilakukan untuk 10-15 juta warga Indonesia. Pertanyaan kedua, kepada siapa vaksin sejumlah tersebut pertama kali akan diberikan? Jawaban paling logis tentu itu akan diberikan kepada para tenaga kesehatan yang menjadi ujung tombak perang kita melawan covid-19. Sisanya, akan diberikan kepada mereka yang menurut para pengambil keputusan mempunyai risiko tertinggi kedua setelah tenaga kesehatan atau dianggap punya jabatan atau fungsi penting di masyarakat. Di sinilah masalah bisa timbul, karena pengambil keputusan harus memilih siapa mereka. Mereka bisa saja Presiden dan menteri kabinetnya serta para pejabat atau petinggi negara, anggota parlemen, penegak hukum, pengusaha besar, dan lain-lain. Mereka yang tidak atau belum mendapat giliran, dua ratus juta lebih yang terdaftar dalam sistem kesehatan (BPJS) dan beberapa puluh juta lainnya, harus menunggu dan antri sejak awal 2021 sampai akhir 2021 atau mungkin lebih lama, tergantung kapan vaksin selanjutnya akan diterima. Kalau saja virus kemudian bermutasi, atau vaksin ternyata hanya efektif untuk jangka waktu singkat (3-6 bulan), proses yang sama akan diulang lagi. 

Mungkin yang dibayangkan banyak orang adalah begitu mudahnya semua proses ini dilakukan. Banyak pengamat sudah membayangkan bahwa proses ini semua membutuhkan: (a) vaksin yang sudah terbukti efektif dengan efek samping ringan, (b) ketersediaan sistem produksi yang canggih dan berskala besar, dan berproduksi tanpa henti, (c) ketersediaan bahan baku vaksin dalam jumlah luar biasa besar dan tersedia dalam waktu singkat, (d) ketersediaan botol dan boks penyimpan setiap vaksin dalam jumlah luar biasa besar, (e) tempat penyimpanan vaksin dengan mesin pendingin sejak dari pabrik sampai dengan rumah sakit atau Puskesmas dimana vaksin disuntikkan, (f) pengangkutan ratusan juta atau mungkin milyaran boks vaksin dari tempat produksi sampai ke rumah sakit atau Puskesmas (pesawat, truk, dan alat pengangkut lain yang dibuat atau dimodifikasi khusus untuk pengangkutan vaksin), dan (g) terakhir mungkin bagaimana menyediakan infrastruktur dan memobilisasi tenaga kesehatan yang bisa menyuntikkan vaksin ke ratusan juta penduduk dalam waktu cukup singkat. 

Semua itu membutuhkan keputusan yang tepat, biaya dan sumber daya yang luar biasa besar, manajemen yang rumit, jaringan logistik yang perlu dibangun ulang atau bahkan baru, kerja lapangan, dan tantangan di lapangan yang sangat beragam dan dinamis. Belum lagi faktor sosial, politik dan budaya yang mungkin bisa menghambat vaksinasi, termasuk penolakan dari sekelompok orang yang menolak vaksinasi.

d) Yang menjadi ciri khas kita juga adalah persoalan manajemen penanganan krisis yang selalu sukar untuk ditata dan dikelola karena persoalan kekuasaan, keterbatasan anggaran, ego sektoral dan lain-lain. Sejak Presiden mengumumkan adanya virus ini di Indonesia pada awal bulan Maret 2020, kebijakan dan pejabat yang ditunjuk untuk mengelola krisis gonta-ganti. Badan ini dan itu dibentuk dengan kewenangan saling bersimpangan. Kebingungan dan kepanikan pemerintah yang kini diakui, harusnya hanya bisa diberi toleransi untuk waktu yang singkat karena kita sadar kita tidak punya kemewahan untuk hidup lama dengan virus ini, yang berakibat pada jumlah yang terjangkit makin sulit dikendalikan, kematian meningkat, dan akhirnya ekonomi dan aspek kehidupan lainnya juga akan melemah. Dalam kondisi begini, korbannya adalah semua anggota masyarakat tanpa pandang bulu, dengan derita terbesar ada pada anggota masyarakat dengan ekonomi lemah karena ketidak mampuan mereka untuk mencari alternatif perawatan kesehatan dan sekaligus memberi nafkah kepada keluarganya. 

Begitu banyak usulan sudah diberikan kepada para pengambil keputusan dalam awal krisis ini. Termasuk total lockdown Jakarta dan sekitarnya, dan penutupan wilayah Indonesia selama dua sampai empat minggu pada awal pandemi. Juga usulan untuk melakukan 3 M (mencuci tangan, memakai masker dan menjaga jarak) dan 3 T (test, trace, and treat), yang sudah diajukan di awal pandemi. Ada juga usulan untuk membangkitkan partisipasi masyarakat berbasis RT/RW. Semua atau sebagian besar usulan tidak dilakukan atau dilakukan dengan setengah hati dan tindakan di lapangan yang lemah. Sebagian besar ini terjadi hanya karena tidak adanya kemampuan atau kegamangan pengambil keputusan untuk melakukan analisa dan mitigasi risiko yang cepat dan tepat, padahal contoh-contoh penanganan pandemi yang baik maupun buruk sudah tersedia dari pengalaman negara lain. Akibatnya kita semua sekarang ini berada pada titik "living dangerously", sementara vaksin dan obat-obatan yang efektif masih harus ditunggu. Satu persatu tokoh penting, anggota keluarga dan teman kita pergi karena terjangkit virus ini. Setiap keluarga dan komunitas kecil dan besar akan kehilangan orang-orang yang mereka cintai atau bahkan dijadikan sandaran, dan belum kita ketahui kapan semua ini akan berakhir. 

Sesal tentu tidak berguna, dan kini saatnya untuk berpikir dan bertindak logis. Baik untuk pengambil keputusan, petugas di lapangan, dan setiap anggota masyarakat. Kebijakan bantuan sosial dan penanganannya di lapangan perlu ditingkatkan. Puskesmas diperbaiki kemampuannya untuk menangani lonjakan pasien dan kesiapan untuk memberikan vaksin ketika vaksin tiba. Gerakan masyarakat berbasis RT/RW untuk ikut menyediakan tempat karantina dan memberikan bantuan ekonomi keluarga miskin perlu digalakkan. Peraturan pelaksanaan terkait Covid-19 perlu dirinci untuk mengenakan sanksi lebih tegas kepada pelanggar yang menimbulkan risiko terhadap dirinya, keluarga dan orang lain berupa hukuman kurungan dan/atau denda yang besar, bukan dengan hukuman kerja sosial yang tanpa basis hukum dan tidak efektif. Ketika anjuran sosial, arahan tokoh masyarakat, perintah ulama, dan edukasi lewat media gagal untuk menekan pandemi, hukum harus mulai bekerja dengan tegas. Baik untuk anggota masyarakat yang melanggar maupun untuk petugas yang gagal atau lalai melaksanakan disiplin masyarakat. 

Sejumlah ahli mengatakan bahwa perlindungan kita yang paling efektif saat ini adalah masyarakat melakukan 3 M, pemerintah melaksanakan 3 T, dan semua melakukan penghindaran 3 K (kontak dekat, kerumunan dan kamar atau ruang tertutup) tentu dengan segala terjemahannya dalam aksi yang efektif. Vaksin dan obat akan menjadi senjata terakhir karena mereka masih dalam perjalanan yang belum jelas betul destinasinya. Kalau hanya itu yang sementara yang bisa kita lakukan, sebaiknya komitmen bangsa ini harus dijadikan semangat perlawanan baru, dan itu tugas dari setiap manusia Indonesia yang perlu disadarkan bahwa penderitaan dan pengorbanan setahun dua tahun yang kita lakukan untuk membasmi virus dengan cara-cara tadi ini mungkin merupakan suatu langkah terpenting kita untuk menyelamatkan masa depan bangsa dan peradaban Indonesia.

ats, Sentul 22 September 2020

Tags:

Berita Terkait