Tiga Ahli Ini Dukung Argumentasi IKAHI
Utama

Tiga Ahli Ini Dukung Argumentasi IKAHI

Mereka berpendapat Konstitusi tak memberikan wewenang kepada Komisi Yudisial untuk ikut seleksi pengangkatan hakim.

Oleh:
AGUS SAHBANI
Bacaan 2 Menit
Ahli yang dihadirkan Pemohon (Ki-Ka) Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung I Gede Pantja Astawa, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putrasiddin dan mantan Hakim Konstitusi M. Laica Marzuki. Foto: Humas MK
Ahli yang dihadirkan Pemohon (Ki-Ka) Guru Besar Fakultas Hukum Universitas Padjajaran Bandung I Gede Pantja Astawa, Pakar Hukum Tata Negara Irman Putrasiddin dan mantan Hakim Konstitusi M. Laica Marzuki. Foto: Humas MK
Bolehkah Komisi Yudisial ikut dalam seleksi pengangkatan hakim? Pertanyaan inilah yang kini sedang dicarikan jawabannya dalam pengujian Undang-Undang ke Mahkamah Konstitusi. Pemohonnya adalah Pengurus Pusat Ikatan Hakim Indonesia (IKAHI).

Sikap Pemerintah sudah jelas, tak setuju langkah IKAHI. Tetapi tak lantas membuat IKAHI bersurut langkah. Dalam sidang lanjutan di Mahkamah Konstitusi, Senin (15/6), IKAHI mengajukan tiga orang ahli guna memperkuat argumentasi permohonan organisasi para hakim itu. Mereka adalah mantan hakim konstitusi HM Laica Marzuki, Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Padjadjaran Bandung I Gde Pantja Astawa, dan pengajar Universitas Esa Unggul Jakarta Irmanputra Sidin.

Laica berpendapat Konstitusi sama sekali tidak memberikan kewenangan bagi Komisi Yudisial untuk turut serta dalam proses seleksi pengangkatan hakim (SPH) di tiga lingkungan peradilan. Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya memberi kewenangan kepada KY terbatas pada pengusulan pengangkatan hakim agung dan pengawasan hakim termasuk hakim agung.  Lagipula, KY bukanlah pelaku kekuasaan kehakiman sesuai Pasal 24 ayat (2) UUD 1945.

Laica melanjutkan meskipun pembentuk undang-undang dibekali wewenang open legal policy (kebijakan hukum terbuka) ketika merumuskan Undang-Undang (UU), namun kewenangan ini tidak boleh melampaui ambang batas yang telah ditentukan. Menurutnya, rumusan norma keterlibatan KY dalam SPH dalam tiga paket UU Peradilan telah melampaui ambang batas (constitutional given).

“Legislator tidak boleh melampaui ambang batas constitutional given sesuai bunyi Pasal 24B ayat (1) dan Pasal 24 ayat (1) UUD 1945. Ini tidak boleh dikurangi, ditambah, apalagi dinegasikan dengan penggunaan open legal policy,” kata Laica dalam persidangan.

“Legislator tidak boleh melebihi konstitusi sebagai  hukum tertinggi dalam pembuatan undang-undang. Jika itu terjadi, maka terdapat penyimpangan konstitusional seperti permohonan IKAHI ini.”

Menurutnya, kedudukan KY sebagai sebagai lembaga kontrol mengawasi berbeda dengan memilih hakim ketika KY dibekali wewenang dalam SPH. “Ketika KY selaku pengawas dilibatkan dalam proses SPH bersama Mahkamah Agung (MA), maka terjadi keadaan anomali dalam lembaga kekuasaan kehakiman yang merdeka, bebas, dan mandiri,” katanya.

Hal senada disampaikan I Gde Pantja Astawa. Guru Besar Unpad Bandung ini berpendapat rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 sudah cukup jelas dan tidak bisa ditafsirkan lain. Ini dengan pandangan mantan Ketua MK Prof Jimly Assidiqie yang menyatakan jika ketentuan sudah jelas dan tidak bersifat ambigu, mengandung hanya satu pengertian/penafsiran tunggal, tidak terbuka pengadilan menafsirkan lain. Jika hakim berbuat demikian, berarti dia berubah menjadi pembentuk undang-undang.

“Pandangan itu sekaligus meneguhkan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 hanya memberi kewenangan KY mengusulkan hakim agung dan pengawasan etik,” kata I Gde dalam persidangan yang diketuai Arief Hidayat.

Dengan begitu, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, KY tidak memiliki kewenangan untuk ikut dalam SPH. “Karena itu, pasal-pasal yang dimohonkan pengujian bertentangan dengan Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,” tegasnya.

Irmanputra Sidin berpendapat bahwa sesuai Pasal 24B ayat (1) UUD 1945, KY hanya berwenang mengusulkan calon hakim agung dan mengawasi hakim. Soalnya, rumusan Pasal 24B ayat (1) UUD tidak menyebut spesifik kewenangan KY dalam seleksi hakim. “Karena itu, kewenangan KY dalam seleksi pengangkatan hakim (SPH) di tiga lingkungan peradilan bertentangan dengan konstitusi karena kewenangan seleksi hakim tidak disebut secara spesifik dalam Pasal 24B ayat (1) UUD 1945,” kata Irman.

Menurutnya, keterlibatan KY bersama-sama dengan MA dalam SPH merupakan hal yang baik. Namun, sayangnya konstitusi sudah membatasi kewenangan KY. “KY sudah diberi batasan secara jelas tentang kewenangannya. Kewenangan tambahan lain adalah open legal policy benar, tetapi secara konstitusi sudah diatur jelas. Di situlah batas yang dimaksud,” katanya.

PP IKAHI mempersoalkan aturan yang memberi wewenang KY untuk terlibat dalam SPH bersama MA di tiga lingkungan peradilan melalui uji materi ke MK. IKAHI memohonpengujian Pasal 14A ayat (2), (3) UU No. 49 Tahun 2009 tentang Peradilan Umum, Pasal 13A ayat (2), (3) UU No. 50 Tahun 2009 tentang Peradilan Agama, dan Pasal 14A ayat (2),(3) UU No. 51 Tahun 2009 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (PTUN).

IKAHI mengganggap kewenangan KY dalam proses SPH mendegradasi peran IKAHI untuk menjaga kemerdekaan (independensi) yang dijamin Pasal 24 UUD 1945. Selain itu, Pasal 21 UU Kekuasaan Kehakiman menyebutkan organisasi, administrasi, dan finansial MA dan badan peradilan berada di bawah kekuasaan MA.

Terlebih, Pasal 24B ayat (1) UUD 1945 tidak mengamanatkan keterlibatan KY dalam SPH. Bahkan, keterlibatan KY dinilai menghambat regenerasi hakim. Karenanya, pemohon meminta agar keterlibatan KY dalam SPH dihapus dengan cara menghapus kata “bersama” dan frasa “Komisi Yudisial” dalam pasal-pasal itu, sehingga hanya MA yang berwenang melaksanakan SPH.
Tags:

Berita Terkait