Tiga Catatan ICW, Transparansi dan Akuntabilitas Seleksi Penyelenggara Pemilu Provinsi
Terbaru

Tiga Catatan ICW, Transparansi dan Akuntabilitas Seleksi Penyelenggara Pemilu Provinsi

Mulai penentuan tim seleksi, hingga peran serta keterlibatan masyarakat.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 4 Menit
Narasumber dalam diskusi tentang Seleksi Penyelenggara Pemilu Tingkat Provinsi, Minggu (16/10/2022). Foto: RFQ
Narasumber dalam diskusi tentang Seleksi Penyelenggara Pemilu Tingkat Provinsi, Minggu (16/10/2022). Foto: RFQ

Proses penyelenggaraan pemilihan umum (Pemilu) serentak pada 2024 sudah berjalan sejak pertengahan Juni 2022 lalu. Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) tengah menyiapkan rekrutmen tingkat daerah mulai Provinsi sampai denngan kabupaten/kota. Tapi menjadi soal bila posisi penyelenggara pemilu diisi oleh orang-orang bermasalah.

“Agenda Pemilu Serentak 2024 mendatang harus dipastikan berjalan secara profesional, independen, dan mengedepankan nilai-nilai integritas. Harapan itu diyakini menjadi mustahil terlaksana jika saja penyelenggara pemilu justru diisi oleh orang-orang yang bermasalah,” ujar peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana dalam sebuah diskusi, Minggu (16/10/2022) kemarin.

Dia berpandangan pergantian anggota KPU dan Bawaslu daerah menjadi momentum dalamm melakukan perbaikan. Mengacu Pasal 2 UU No.22 Tahun 2007 tentang Penyelenggara Pemilihan Umum bukan persoalan mudah mencari calon-calon yang bakal melaksanakan seluruh asas penyelenggara pemilu. Setidaknya dari 12 asas, 6 diantaranya menjadi poin utama yang mesti diimplementasikan penyelenggara pemilu. Seperti mandiri, jujur, adil, keterbukaan, profesionalitas, dan akuntabilitas.

Menurutnya, dalam lingkup mandiri, penyelenggara pemilu harus menunjukkan sikap independensinya. Setidaknya memastikan ketiadaan intervensi dari cabang kekuasaan manapun. Sedangkan makna jujur dan adil mesti dimaknai bahwa penyelenggara pemilu mengedepankan nilai integritas pada setiap tindakan atau keputusan yang dihasilkan. “Ruang negoisasi antara peserta dan penyelenggara pemilu harus benar-benar ditutup,” tegasnya.

Dia menilai poin profesionalitas merujuk pada kemampuan penyelenggara pemilu untuk menyelenggarkan pesta demokrasi yang berlandaskan pada peraturan perundangan. Sedangkan asas keterbukaan dan akuntabilitas menjadi pegangan bagi penyelenggara pemilu agar selalu dapat mempertanggungjawabkan kinerja dan membuka ruang partisipasi masyarakat.

Dengan kewajiban yang harus dipenuhi penyelenggara pemilu tersebut, lalu dikaitkan dengan konteks pergantian sejumlah KPU dan Bawaslu daerah, maka proses pencarian kandidat perlu mendapat catatan kritis. Pertama, penentuan tim seleksi dalam penjaringan anggota KPU maupun Bawaslu daerah harus bebas dari intervensi politik. Langkah tersebut penting dengan mengacu Pasal 17 ayat (3) jo Pasal 22 ayat (3) UU 22/2007 melibatkan pihak lain yang kental dengan nuansa politik yakni kepala daerah dan anggota legislatif.

Menurutnya, dikaitkan dengan kontestasi elektoral pada Pemilu  Serentak 2024 mendatang, bukan tidak mungkin dua cabang kekuasaan itu memilih anggota tim seleksi yang dapat membuka ruang negoisasi. Tak hanya itu, aturan tersebut pun membuka kesempatan bagi KPU untuk mengajukan dua kandidat tim seleksi. “Proses penentuan nama-nama yang diajukan oleh KPU harus pula dapat dipertanggungjawabkan dan mengakomodir keterlibatan masyarakat dengan membuka ruang partisipasi,” ujarnya.

Tags:

Berita Terkait