Tim Advokasi Perkawinan Campuran (PerCa) Indonesia, Rulita Anggraini, mengatakan setidaknya ada tiga hal yang perlu diperjelas mengenai pasal yang mengatur hak milik bagi pasangan kawin campur. Pertama, apakah perjanjian pemisahan harta yang terdapat dalam Pasal 3 PP 103/2015 hanya sebagai pembuktian. Lalu, apakah perjanjian pemisahan harta tersebut menjadi pembuktian ketika akan menjual hak milik tersebut atau apakah pada saat membeli hak milik tersebut.
“Artinya saya mau jual tanah saya, karena suami saya orang asing, saya harus menunjukan perjanjian pemisahan harta? Berarti kalau saya mau jual saya tidak perlu dong membuat perjanjian pemisahan harta. Tapi sekarang nyatanya kalau saya mau membeli tanah saya ditolak notaris karena suami saya orang asing. Jadi perjanjian pemisahan harta ini pembuktian pada saat apa?,” ujarnya kepada hukumonline, Selasa (19/1), di kantornya, Tebet, Jakarta.
Kedua, kapan jangka waktu berlaku perjanjian pemisahan harta. Menurut Rulita, dalam PP tersebut tidak dijelaskan kapan jangka waktu berlakunya perjanjian permisahan harta tersebut. “Kalau saya buat sekarang ke notaris, apakah itu berlaku untuk transaksi yang sudah ada sebelumnya. Karena kan ini hanya pembuktian,” katanya.
Ketiga, apa acuan hukum yang digunakan untuk membuat perjanjian pemisahan harta mengingat dalam Pasal 3 ayat (2) PP tersebut menyatakan bahwa pembuatan perjanjian pemisahan harta antara suami dan istri. Sehingga, apakah perjanjian pemisahan harta tersebut dibuat dalam perkawinan atau sebelum perkawinan harus diperjelas.
Terkait hal di atas, kata Rulita, PerCa Indonesia sudah mengirimkan surat kepada Menteri Hukum dan HAM, Yassona Laoly, agar memberikan penjelasan.
“Kalau kita mengacu ke perjanjian harta antara suami dan istri itu kita harus mengacu kepada UU Perkawinan atau apakah kita mengacu KUHPerdata atau aturan yang mana? kalau perjanjian pranikah jelas hanya bisa dibuat sebelum pernikahan. Selama ini setahu saya kalau ingin membuat perjanjian yang mengacu kepada asas kebebasan berkontrak maka acuan ke KUHPerdata hanya boleh dilakukanmelalui perngadilan. Karena hanya penetapan pengadilan yang bisa memberikan/pengesahan kepada kesepakatan tersebut,” tambah Rulita.
Rulita tidak bisa menyatakan kalau hadirnya PP itu menjadi angin segar bagi komunitas perkawinan campuran. Meski demikian, dia mengapresiasi pemerintah dengan membuat PP tersebut. “Namun, kalau dilihat dari apa yang menjadi aspirasi kami adalah kami minta disamakan hak tanpa persyaratan apapun karena hak kami dilindungi oleh undang-undang. Supaya kedudukan kita sebagai WNI tidak dikecualikan hanya karena kita menikah dengan orang asing. Sehingga ada tiga pertanyaan yang perlu diperjelas dalam PP ini,” ujarnya.
Selain perlu memperjelas ketiga pertanyaan tersebut, kata Rulita, PP ini juga dapat menjadi solusi bagi pasangan yang mengalami kebingungan, dengan syarat ketiga pertanyaan tersebut harus diperjelas implementasinya.
“Oke diberikan terobosan dengan PP ini. tapi apakah itu menjawab pertanyaan yang paling mendasar. Itu masih diskriminatif terhadap kami,” jelasnya.
Dia juga menjelaskan bahwa belum tentu semua pelaku kawin campur mau melakukan perjanjian pemisahan harta. Karena dengan adanya perjanjian pemisahan harta tersebut, ketika ada perceraian maka posisi suami dan istri menjadi tidak seimbang. Sedangkan jika dipersatukan menjadi harta bersama, maka ketika cerai kedudukan menjadi sama dan harta dapat dibagi secara bersama atau oleh pengadilan secara adil.
“Hak miliki itu kan tetap atas nama saya, WNI. Yang dimaksud harta bersama di sini ialah menikmati secara bersama-sama dengan suami saya yang WNA. Ketika saya menyewakan rumah hak milik saya, maka saya dan suami saya menggunakan uang sewa tersebut untuk berlibur atau membiayai anak sekolah. Itu adakah harta bersama. Intinya pemisahan harta jangan dianggap sebagai solusi,” tandasnya.