Tiga Kelemahan UU Perlindungan Konsumen
Terbaru

Tiga Kelemahan UU Perlindungan Konsumen

Seperti soal substansi hukum, hingga budaya hukum.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Kiri ke kanan: Moderator, Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto, Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul dan Kepala Bidang Pengaduan YLKI Sularsi dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023). Foto: Istimewa
Kiri ke kanan: Moderator, Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto, Kepala Badan Keahlian DPR Inosentius Samsul dan Kepala Bidang Pengaduan YLKI Sularsi dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023). Foto: Istimewa

Berbagai kalangan terus berupaya mendorong perubahan terhadap UU No.8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. Tak lagi relevan dengan kondisi perkembangan digital menjadi satu dari sekian alasan urgennya perubahan terhadap UU 8/1999. Lantas apa saja yang menjadi titik lemah dari UU Perlindungan Konsumen?.

Anggota Komisi VI DPR Darmadi Durianto, berpandangan setidaknya ada tiga poin yang menjadi titik lemah UU 8/1999. Pertama, soal substansi hukum. Dalam UU Perlindungan Konsumen memang sudah menuai banyak soal. Seperti di Pasal 54 dan 56. Penyelesaian sengketa konsumen dilakukan oleh Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen (BPSK) dengan membentuk majelis. Nah, dalam Pasal 54 ayat (3) menyebutkan, “Putusan majelis bersifat final dan mengikat”.

Sementara Pasal 56 ayat (2) menyebutkan, “Para pihak dapat mengajukan keberatan kepada Pengadilan Negeri paling lambat 14 (empat belas) hari kerja setelah menerima pemberitahuan putusan tersebut”. Terhadap pengajuan keberatan, Pengadilan Negeri wajib menerbitkan putusan paling lambat 21 hari sejak diterimanya keberatan. Nah, Pasal 58 ayat (2) menyebutkan, “Terhadap putusan Pengadilan Negeri sebagaimana dimaksud pada ayat (1), para pihak dalam waktu paling lambat 14 (empat belas) hari dapat mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung Republik Indonesia”. Boleh dibilang adanya pertentangan rumusan norma pasal dalam UU 8/1999.

“Dia bisa ngajuin kasasi, sehingga menyulitkan BPSK di bawah, badan penyelesaian sengketa konsumen itu salah satu pasal aja, jadi substansinya ini penuh dengan masalah di UU 8/1999,” ujarnya dalam sebuah diskusi di Komplek Gedung Parlemen, Selasa (14/3/2023).

Baca juga:

Kedua, masa struktur hukum maupun aparatur penegak hukumnya. Darmadi menunjuk BPSK. Menurutnya, BPSK menjadi ‘mandul’ dalam hal kewenangan akibat dari UU No.23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah (Pemda). Dia menyebut UU 8/1999 dahulu semua penyelesaian sengketa konsumen dilakukan BPSK yang ada tingkat kabupaten/kota. Tapi melalui UU 23/2014 BPSK malah ditarik ke tingkat provinsi.

Menjadi masalah, saat provinsi kekurangan dana dan tak lagi ada yang mengurus persoalan sengketa konsumen. Ujungnya, BPSK nyaris di seluruh Indonesia tutup atau setidaknya anggaran menjadi turun. “Bayangkan majelis hakim di BPSK, itu ada yang doktor, gajinya Rp500 ribu. Akibatnya hampir di seluruh kabupaten kota banyak nggak ada  BPSK, atau ada BPSK-nya kosong, itu situasinya dan saya datangi BPSK di beberapa daerah,” katanya.

Tags:

Berita Terkait