Tiga Kendala Sulitnya Akses Keuangan Kepada Masyarakat
Berita

Tiga Kendala Sulitnya Akses Keuangan Kepada Masyarakat

Akses keuangan tertutup disebabkan karena kurangnya edukasi, regulasi, hingga jarak dengan lembaga keuangan.

Oleh:
NNP
Bacaan 2 Menit
Peresmian PELAKU dan peluncuran mobile application Sikapiuangmu di Jakarta, Selasa (22/12). Foto: NNP
Peresmian PELAKU dan peluncuran mobile application Sikapiuangmu di Jakarta, Selasa (22/12). Foto: NNP
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mengakui kalau tingkat literasi keuangan masyarakat di Indonesia hingga saat ini masih sangat rendah. Berdasarkan survei OJK tahun 2013 saja, tingkat literasi keuangan masyarakat Indonesia hanya berada di angka 21,8 persen. Dimana, dari 100 orang, hanya 22 orang saja yang mengetahui tentang apa saja produk keuangan, apa manfaatnya, serta bagaimana cara menggunakan produk keuangan.

Kecilnya literasi keuangan masyarakat itu berbanding lurus dengan kondisi masih tertutupnya akses keuangan bagi masyarakat. Ketua Dewan Komisioner OJK Muliaman D Hadad mengatakan, terbuka atau tertutupnya akses keuangan bagi masyarakat bukanlah persoalan hal yang sederhana.

Dari identifikasi yang dilakukan, Muliaman mengatakan, paling tidak ada tiga aspek yang membuat akses keuangan masyarakat menjadi tertutup. “Tertutup atau terbukanya akses keuangan ini memang bukan soal yang sederhana. Kita bisa mulai identifikasi,” ujarnya saat memberikan sambutan di acara peresmian PELAKU dan peluncuran mobile application Sikapiuangmu di Jakarta, Selasa (22/12).

Pertama, akses keuangan tertutup bisa disebabkan karena kurangnya edukasi yang diterima oleh masyarakat. Sebagai contoh, masyarakat yang menjadi korban penipuan investasi illegal, menurut Muliaman, pada umumnya karena kurang paham atau kurangnya pengetahuan masyarakat mengenai investasi yang benar dan legal.

“Oleh karena itu edukasi menjadi penting. Karena pengetahuan bisa membuka akses yang besar,” sebutnya.

Kedua, akses keuangan tertutup boleh jadi karena regulasi atau business process yang ‘menghambat’ akses masyarakat itu. Misalnya yang dialami oleh sejumlah petani saat ingin melakukan pinjaman ke lembaga keuangan atau bank. Sebagian besar pinjaman itu terkendala karena alasan tidak memiliki jaminan sebagai agunan kepada bank.

“Bagaimana bangun business process? Itu bagian dari upaya kita. Kita akan ciptakan business process yang bisa buka akses dengan lembaga keuangan,” tuturnya.

Mengatasi hal itu, lanjut Muliaman, OJK berencana menggandeng pihak Kementerian Agraria serta Badan Pertanahan Nasional terkait program sertifikasi bagi tanah pertanian. Dari rencana itu, diharapkan kendala agunan sebagai jaminan dari resiko kredit yang mesti tercover oleh perbankan bisa diselesaikan.

“Tanah tanpa sertifikat dengan tanah dengan sertifikat itu beda, yang satu tidak mampu buka akses, yang satu bisa membuka akses,” katanya.

Ketiga, bisa jadi akses keuangan tertutup lantaran jarak antara masyarakat dengan lembaga keuangan yang sulit dijangkau. Muliaman mengakui memang lokasi bank lebih banyak di pusat kota sedangkan masyarakat yang membutuhkan layanan keuangan berada di daerah. Dua tahun belakangan, OJK sebetulnya telah mencoba meminimalisir ‘gap’ itu dengan meluncurkan program branchless banking atau layanan bank tanpa kantor.

Program yang lebih dikenal dengan Layanan Keuangan Tanpa Kantor dalam Rangka Keuangan Inklusif (Laku Pandai) ini, lanjut Muliaman, dinilai menjadi cara untuk mengurangi masalah jarak antara lembaga keuangan dengan yang membutuhkan layanan keuangan. Bahkan hingga tahun 2015 ini, agen-agen Laku Pandai sudah mencapai 30.000 agen dari beberapa bank pendukung program ini.

“Sehingga nanti jarak tidak lagi jadi isu. Karena teknologi bisa bantu. Sampai akhir ini 30.000 dari beberapa bank dukung. Tahun depan target 300.000 agen baru dari berbagai macam bank untuk menyelesaikan masalah distance ini,” paparnya.

Terlepas dari hal itu, Muliaman melihat bahwa isu inklusi serta literasi keuangan akan tetap menjadi tema sentral OJK sepanjang 2015 dan bahkan hingga tahun 2016 nanti. Bahkan, permasalahan inklusi keuangan tidak hanya menjadi isu Indonesia melainkan juga menjadi isu global di sektor jasa keuangan pasca dunia dilanda krisis global pada tahun 2008.

Atas dasar itu, lanjut Anggota Dewan Komisioner Bidang Edukasi dan Perlindungan Konsumen OJK Kusumaningtuti S Setiono, OJK meluncurkan Pusat Edukasi, Layanan Konsumen, dan Akses Keuangan UMKMU (PELAKU) serta Mobile Application Sikapiuangmu. Menurutnya, keduanya merupakan implementasi Pilar 2 Strategi Literasi Keuangan Indonesia, yakni untuk memperkuat infrastruktur yang mendukung peningkatan literasi dan inklusi keuangan.

“Hari ini diperkuat dengan diluncurkannya mobile apps Sikapiuangmu serta diresmikannya PELAKU,” ujar wanita yang disapa Tituk ini.

Menurut Tituk, dua hal itu dilakukan dalam rangka memfasilitasi masyarakat untuk lebih mendekatkan diri dengan akses dan layanan keuangan. Nantinya, program PELAKU akan diterapkan di kantor-kantor OJK daerah sebagai pusat edukasi, pusat layanan konsumen, serta pusat akses keuangan bagi UMKM.

Seiring dengan itu, OJK juga akan membentuk Tim Akselerasi Akses Keuangan untuk program PELAKU ini yang terdiri dari tim OJK daerah, Bank Indonesia, Pemerintah Daerah, wakil-wakil industri keuangan di daerah, serta perwakilan asosiasi usaha di daerah. Sementara, untuk aplikasi mobile Sikapiuangmu dirancang untuk masyarkat yang telah ‘melek teknologi’ agar semakin dekat dengan layanan keuangan. “Untuk fasilitasi rendahnya tingkat literasi keuangan masyarakat,” pungkasnya.
Tags:

Berita Terkait