Tiga Pilar dalam Rekomendasi Laporan Profesor John Ruggie
Merajut Bisnis dan HAM

Tiga Pilar dalam Rekomendasi Laporan Profesor John Ruggie

Perusahaan-perusahaan multinasional juga punya panduan yang diterbitkan OECD.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit
Prinsip-Prinsip Panduan ditopang oleh tiga pilar yakni protection, respect, dan remedy. Ilustrasi foto lingkungan hutan yang dioleh masyarakat di Jawa Tengah. Foto: MYS
Prinsip-Prinsip Panduan ditopang oleh tiga pilar yakni protection, respect, dan remedy. Ilustrasi foto lingkungan hutan yang dioleh masyarakat di Jawa Tengah. Foto: MYS
United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights, biasanya disingkat UNGPs BHR, tak bisa dilepaskan dari nama John Gerard Ruggie. Saat diwawancarai hukumonline, Juni lalu, komisioner Komnas HAM Nur Kholis, juga langsung menyebut nama Profesor Berthold Beitz in Human Rights and International Affairs. John Ruggie adalah orang yang ditunjuk Sekjen PBB Kofi Annan pada 2005 untuk menjadi Special Representative for Business and Human Rights.

Sepanjang 2005-2011, John Ruggie melaksanakan tugas antara lain melakukan lebih dari 50 konsultasi internasional, riset dan pilot projects untuk kebutuhan penyusunan panduan bisnis internasional yang memperhatikan hak asasi manusia. Hasil riset dan konsultasi internasional Profesor Ruggie itulah yang pada Juni 2011 disahkan Dewan HAM PBB menjadi UNGPs BHR.

Prinsip-Prinsip Pedoman untuk Bisnis dan HAM menjadi penanda yang signifikan dalam evolusi norma standard dan tanggung jawab serta akuntabilitas korporasi. Prinsip-prinsip yang terkandung di dalamnya meletakkan dasar dan tanggung jawab pencegahan dan penyelesaian pelanggaran HAM yang berhubungan dengan bisnis.

Pengesahan rekomendasi John Ruggie itu oleh Dewan HAM PBB sebenarnya tidak berdiri sendiri. Ia berkaitan dengan perkembangan diplomasi internasional yang relevan. Setidaknya ada dua momentum yang bisa dicatat.

Pertama, pada tahun 1999, dalam Forum Ekonomi Dunia di Davos, Sekjen PBB Kofi Annan mengusulkan kepada dunia bisnis apa yang kemudian dikenal sebagai Global Compact. Global Compact ini didasarkan pada pemenuhan nilai-nilai bersama dalam aspek perburuhan, HAM, dan  lingkungan. Pada tahun 2004 ditambahkan nilai-nilai antikorupsi sejalan dengan United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

(Baca juga: UNODC Bantu KPK Perbaiki Rekomendasi UNCAC)

Kedua, pada 14 Agustus 2003 terbit Resolusi 2003/16 yang dihasilkan Subkomisi PBB untuk Promosi dan Perlindungan HAM. Resolusi ini menetapkan norma tanggung jawab perusahaan transnasional dan usaha bisnis lainnya yang berkaitan dengan HAM (Norms on the Responsibilities of Transnational Corporations and Other Business Enterprises with regard to Human Rights). Dalam rangka menindaklanjuti kedua momentum itulah Kofi Annan kemudian menunjuk John Ruggie.

Kini, berdasarkan pemantauan Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (Elsam) sudah ada 20-an negara yang mengadopsi prinsip-prinsip pedoman itu ke dalam kerangka hukum nasional. “Indonesia termasuk yang maju di Asia Tenggara,” kata peneliti Elsam, Anti Muttaqien.

(Baca juga: Sebuah Rencana Aksi Bertema Bisnis dan HAM)

Pernyataan Andi didasarkan pada kondisi penyusunan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM. Bertepatan dengan enam tahun pengesahan UNGPs BHR, Elsam dan Kommas HAM memang meluncurkan Rencana Aksi Nasional Bisnis dan HAM beserta kertas kebijakan yang menguraikan urgensi penyusunan Rencana Aksi Nasional (RAN) itu. Hal ini sejalan dengan seruan Dewan HAM PBB pada 2014 silam agar semua negara anggota melaksanakan prinsip-prinsip UNGPs BHR dalam konteks nasional masing-masing.

Tiga pilar
Apa sebenarnya isi UNGPs BHR? Sesuai dengan namanya, dokumen tersebut berisi prinsip-prinsip pokok yang mengatur relasi antara bisnis dan HAM, bagaimana korporasi mengadopsi nilai-nilai HAM dalam menjalankan bisnisnya. Berdasarkan dokumen UNGPs yang diperoleh hukumonline ada tiga pilar utama yang menopang UNGPs.

Pilar pertama ditujukan kepada Pemerintah, yakni kewajiban untuk melindungi HAM (the state duty to protect human right). Pemerintah harus melindungi individu dari pelanggaran hak asasi manusia oleh pihak ketiga termasuk pelaku bisnis.

Pilar kedua, perusahaan, bertanggung jawab untuk menghormati HAM (the corporate responsibility to respect human rights). Ini berarti perusahaan tidak melanggar HAM yang diakui secara internasional dengan menghindari, mengurangi atau mencegah dampak negatif dari operasional korporasi.

Pilar ketiga, korban, perlu mendapatkan akses pemulihan (access to remedy). Korban punya kebutuhan untuk memperluas akses  mendapatkan pemulihan yang efektif, baik melalui mekanisme yudisial maupun non-yudisial.

Ketiga pilar tersebut kemudian dielaborasi menjadi empat kerangka kebijakan. Kerangka kebijakan pertama, Prinsip-Prinsip Panduan ini berlaku bagi semua negara dan semua bisnis, baik transnasional maupun lainnya, terlepas dari besarnya, sektor, lokasi kepemilikan dan struktur dari perusahaan tersebut.

Kerangka kebijakan kedua, Prinsip-Prinsip Panduan harus dipahami sebagai satu kesatuan yang utuh dan harus dibaca secara bersama-sama dan tidak terpisah. Tujuan Prinsip-Prinsip Panduan adalah memajukan standard dan praktik yang berkaitan dengan bisnis dan HAM untuk mencapai hasil nyata bagi komunitas dan individu yang terkena dampak. Oleh karena itu, Panduan ini diharapkan juga akan memberikan kontribusi untuk mewujudkan tatanan globalisasi sosial yang berkelanjutan.

Kerangka kebijakan ketiga, tidak satu pun dari Prinsip-Prinsip Panduan menciptakan kewajiban hukum internasional yang baru, atau membatasi atau mengesampingkan kewajiban hukum apapun yang mungkin dimiliki oleh suatu negara atau menjadi subjek hukum internasional terkait dengan HAM.

(Baca juga: Penyelesaian Konflik SDA di Luar Pengadilan Bisa Efektif)

Kerangka kebijakan keempat, Prinsip-Prinsip Panduan harus diterapkan secara non-diskriminatif, dengan perhatian khusus pada hak dan kebutuhan dari, serta tantangan yang dihadapi oleh individu dari kelompok atau populasi yang berada pada risiko menjadi rentan atau termarjinalkan. Selain itu, juga dengan menaruh perhatian pada risiko berbeda yang mungkin dihadapi.

OECD: Perusahaan Multinasional
Prinsip lain yang tak bisa diabaikan begitu saja berkaitan dengan bisnis dan hak asasi manusia adalah OEDC Guidelines for Multinational Enterprises atau Les principes directeurs de ‘OCDE a l’intention des enterprises (Panduan OECD Bagi Perusahaan-Perusahaan Multinasional).

Awalnya dokumen internasional ini adalah Deklarasi OECD mengenai Investasi Internasional dan Perusahaan-Perusahaan Multinasional. Sejak Mei 2010, pemerintah dari 42 negara OECD dan non-negara OCED yang mengikatkan diri mulai memperbarui Panduan Investasi dan mencapai momentum setahun kemudian ketika berlangsung Pertemuan Tahunan Para Menteri OECD ke-50.

Perubahan penting yang disepakati antara lain memperjelas prosedur dan penguatan titik-titik kontak nasional; agenda implementasi yang lebih proaktif; dan penguatan pada bab ketenagakerjaan dan hubungan industrial, pemberantasan penyuapan, permintaan suap dan pemerasan, lingkungan hidup, kepentingan konsumen, serta keterbukaan dan perpajakan.

Namun dalam konteks ini, yang paling relevan adalah masuknya satu bab khusus tentang hak asasi manusia. Panduan mengenai HAM ini disesuaikan dengan kerangka kerja ‘melindungi, menghormati, dan pemulihan’ yang disuarakan PBB. Dalam Panduan OECD disebutkan negara berkewajiban untuk melindungi hak asasi manusia. Tetapi perusahaan-perusahaan multinasional juga diminta untuk menyelaraskan dengan peraturan perundang-undangan di negara tempat perusahaan beroperasi.
Prinsip Dasar Bagi Perusahaan Multinasional Berkaitan dengan HAM Berdasarkan Panduan OECD 2011

Ø Menghormati HAM, yang berarti bahwa perusahaan harus menghindari dari perbuatan melanggar HAM orang lain dan harus mengatasi dampak yang merugikan HAM dimana perusahaan terlibat di dalamnya.
Ø Dalam konteks kegiatan, perusahaan menghindar untuk tidak menyebabkan atau berkontribusi pada dampak yang merugikan HAM dan mengatasi dampak tersebut jika sudah terjadi.
Ø Mencari cara untuk mencegah atau mengurangi dampak yang merugikan HAM yang secara langsung terkait dengan operasi bisnis, produk atau layanan jasa perusahaan dalam suatu hubungan bisnis, bahkan ketika perusahaan tidak berkontribusi pada dampak tersebut.
Ø Memiliki komitmen kebijakan untuk menghormati HAM.
Ø Menjalankan due diligence terkait dengan HAM yang sesuai dengan besaran, sifat, dan konteks operasinya serta besarnya resiko dari dampak yang merugikan HAM.
Ø Memberikan atau bekerjasama melalui proses yang dapat diterima dalam pemulihan atas dampak yang merugikan HAM ketika perusahaan mengetahui bahwa perusahaan telah berkontribusi terhadap dampak tersebut.

Dalam prinsip dasar tersebut ada kewajiban perusahaan multinasional menjalankan due diligence terkait dengan HAM, terutama risiko HAM yang mungkin muncul akibat operasi perusahaan. Itu berarti perusahaan penting untuk mengelaborasi lebih lanjut apa saja prinsip yang terkandung dalam UNGPs dan mempersiapkan lawyer yang handal melakukan due diligence berkaitan dengan hak asasi manusia.

(Baca juga: Legal Due Diligence ’Tanpa Celah’ Kunci Hindari Kasus dalam Pengadaan Tanah)
Tags:

Berita Terkait