Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya
Outsorcing Berkeadilan

Tiga Upaya Pekerja Menguak Alih Daya

Undang-Undang Ketenagakerjaan termasuk lima besar Undang-Undang yang dimohonkan uji ke Mahkamah Konstitusi. Tiga di antaranya menyinggung masalah pekerjaan alih daya.

Oleh:
Muhammad Yasin
Bacaan 2 Menit

 

PKWT adalah jenis perjanjian kerja yang dirancang untuk pekerjaan yang dimaksudkan hanya untuk waktu tertentu saja dan tidak berlangsung selamanya. Begitu jangka waktu berakhir, hubungan kerja buruh dan majikan juga berakhir. Pasal 59 UU Ketenagakerjaan hanya bisa diterapkan untuk empat jenis pekerjaan, yakni: (i) pekerjaan yang sekali selesai atau sementara sifatnya; (ii) pekerjaan yang diperkirakan dapat diselesaikan tidak terlalu lama atau paling lama tiga tahun; (iii) pekerjaan yang bersifat musiman; atau (iv) pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru, kegiatan baru, atau produk tambahan yang masih dalam penjajakan atau percobaan.

 

Majelis hakim yang memutus permohonan kedua ini mengutip juga pertimbangan dalam putusan MK No. 012/PUU-I/2003. Meskipun putusan pertama tersebut menyebutkan ada perlindungan terhadap pekerja outsourcing, majelis perkara kedua mengutip pandangan pemohon bahwa tidak ada jaminan syarat-syarat kerja dan perlindungan kerja dijalankan. Menurut Mahkamah, ada ketidakpastian nasib pekerja akibat UU Ketenagakerjaan tidak memberikan jaminan kepastian mendapatkan pekerjaan dan imbalan yang layak. Mahkamah perkara kedua justru menganggap esensi utama hukum perburuhan yakni to protect the workers terabaikan.

 

Menurut Mahkamah, penyerahan sebagian pelaksanaan pekerjaan melalui perusahaan lain adalah kebijakan yang wajar asalkan penyerahan pekerjaan itu memenuhi syarat yang ditentukan Pasal 65 dan 66 UU Ketenagakerjaan. Namun demikian, Mahkamah meneliti lebih jauh perlindungan pekerja outsourcing. Mahkamah berpendapat bahwa syarat-syarat yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dapat berakibat pada hilangnya jaminan kepastian hukum yang adil dan layak dalam hubungan kerja karena begitu pekerjaan berakhir, maka berakhir pula hubungan kerja. Karena itu, Mahkamah berpendapat buruh yang melaksanakan pekerjaan dalam perusahaan outsourcing tidak boleh kehilangan hak-haknya yang dijamin konstitusi. Mahkamah ingin memastikan ada jaminan perlindungan kepada pekerja.

 

Dalam pertimbangan, Mahkamah Konstitusi malah mengusulkan dua model yang dapat dilaksanakan untuk melindungi hak-hak pekerja dalam praktik outsourcing. Pertama, membuat syarat agar perjanjian kerja antara buruh dengan perusahaan yang melaksanakan pekerjaan outsourcing tidak berbentuk PKWT, melainkan berbentuk ‘perjanjian kerja waktu tidak tertentu’. Kedua, menerapkan prinsip pengalihan tindakan perlindungan bagi pekerja, atau yang lazim disebut Transfer of Undertaking Protection of Employment (TUPE) yang bekerja pada perusahaan pelaksana pekerjaan outsourcing.

 

Mahkamah menyebutkan model TUPE sudah diterapkan dalam praktik pengambilalihan suatu perusahaan oleh perusahaan lain. Mahkamah juga menekankan pentingnya memberikan fair benefit and welfare kepada para pekerja baik outsourcing maupun tidak. Dalam putusannya, Mahkamah mengabulkan sebagian permohonan. Mahkamah menyatakan frasa ‘perjanjian kerja waktu tertentu’ dalam Pasal 65 ayat (7) dan frasa ‘perjanjian kerja untuk waktu tertentu’ dalam Pasal 66 ayat (2) hurub b UU Ketenagakerjaan bertentangan dengan UUD 1945 sepanjang dalam perjanjian tidak disyaratkan adanya pengalihan perlindungan hak-hak bagi pekerja yang objek kerjanya tetap ada walaupun terjadi pergantian perusahaan yang melaksanakan sebagian pekerjaan borongan dari perusahaan lain.

 

Putusan Mahkamah Konstitusi ini telah ditindaklanjuti Pemerintah. Misalnya melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) No. 19 Tahun 2012 tentang Syarat-Syarat Penyerahan Sebagian Pelaksanaan Pekerjaan kepada Perusahaan Lain.

 

Baca:

Tags:

Berita Terkait