Tindak Pidana Perkebunan dalam Perspektif Kebijakan Penal
Kolom

Tindak Pidana Perkebunan dalam Perspektif Kebijakan Penal

​​​​​​​Kebijakan penal dalam tahap formulasi ketentuan pidana perkebunan harus selaras dengan asas-asas dan tujuan penyelenggaraan perkebunan.

Bacaan 2 Menit
Aji Kurnia. Foto: Istimewa
Aji Kurnia. Foto: Istimewa

Kasus “Kakek Samirin”, kakek pengembala sapi (68 tahun) yang dinyatakan bersalah mencuri getah karet di perkebunan PT Bridgestone, Kecamatan Tapian Nauli, Kabupaten Tapanuli Tengah, Sumatera Utara telah menjadi perhatian masyarakat dan diskusi yang hangat di kalangan ahli hukum. Beberapa kalangan menganggap kasus ini merupakan ironi karena PT Bridgestone telah memperkarakan kakek Samirin yang mengambil sisa getah karet seharga Rp17.480. Samirin oleh jaksa dituntut dengan ancaman 10 bulan kurungan atas perbuatan pidana “memanen dan/atau memungut hasil perkebunan” yaitu melanggar Pasal 107 huruf d UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan (UU Perkebunan).

Pada akhirnya, Rabu (15/1/2020) Majelis Hakim Pengadilan Negeri Simalungun  memvonis kakek Samirin bersalah dan menjatuhkan hukuman penjara 2 bulan 4 hari. Vonis tersebut membuat Samirin langsung bebas karena telah menjalani masa tahanan selama 2 bulan 3 hari. Dibandingkan dengan tuntutan jaksa, maka putusan hakim tersebut patut diapresiasi karena telah mempertimbangkan rasa keadilan masyarakat.

 

Sebelum kasus “Kakek Samirin”, kasus lain yang berkaitan dengan tindak pidana perkebunan menimpa kakek berinisial Ar (65), warga Kampung Tanjung Kuras, Kecamatan Sungai Apit, Kabupaten Siak yang melakukan pembersihan kebun dengan cara membakar untuk budi daya nanas. Pelaku dikenakan Pasal 56 ayat (1) juncto Pasal 108 UU Perkebunan yaitu larangan membuka dan/atau mengolah lahan dengan cara membakar, dengan ancaman pidana penjara maksimal 10 tahun dan denda maksimal Rp10 miliar.

 

Berdasarkan yurisprudensi, perlu kiranya melihat kembali Putusan MK No. 55/PUU-VIII/2010 mengenai pengujian materiil UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan (sebelum berlakunya UU No. 39 Tahun 2014 tentang Perkebunan). Dalam amar putusan tersebut, Pasal 21 beserta Penjelasannya, Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) UU No. 18 Tahun 2004 tentang Perkebunan dinyatakan bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum yang mengikat.

 

Dalam Pendapat Mahkamah dijelaskan bahwa unsur “dilarang melakukan tindakan yang berakibat pada kerusakan kebun dan/atau aset lainnya” dalam Pasal 21 mengandung rumusan pasal yang terlalu luas. Demikian pula kata-kata “aset lainnya” tidak memberikan batas yang jelas. Selain itu, frasa “dan/atau tindakan lainnya yang mengakibatkan terganggunya usaha perkebunan” dalam Pasal 21 juga mengandung ketidakpastian hukum. Frasa “tindakan lainnya” mengandung makna yang sangat luas dan tidak terbatas. Ketidakjelasan rumusan Pasal 21 yang diikuti dengan ancaman pidana dalam Pasal 47 ayat (1) dan ayat (2) telah menimbulkan ketidakpastian hukum sehingga menurut pendapat Mahkamah dapat melanggar hak-hak konstitusional warga negara.

 

Kebijakan Penal

Kasus “Kakek Samirin” dan kasus-kasus lainnya yang serupa perlu dikaji dalam perspektif kebijakan penal. Barda Nawawi Arief menyatakan bahwa kebijakan penal merupakan pencegahan dan penanggulangan kejahatan dengan sarana hukum pidana yang mencakup tahap formulasi (kebijakan legislatif), tahap aplikasi (kebijakan yudikatif/yudisial), dan tahap eksekusi (kebijakan eksekutif/administratif).

 

Tahap formulasi/kebijakan legislatif merupakan tahap paling strategis dari kebijakan penal. Sehingga kesalahan/kelemahan tahap formulasi/kebijakan legislatif merupakan kesalahan strategis yang dapat menghambat upaya pencegahan dan penanggulangan kejahatan pada tahap aplikasi dan eksekusi (Barda, 2010). Formulasi ketentuan pidana pada dasarnya memiliki korelasi dan signifikansi dengan praktik peradilan pidana (Sigid Suseno, 2013).

Tags:

Berita Terkait