Tingginya Inflasi Perlambat Pemulihan Perekonomian Dalam Negeri
Terbaru

Tingginya Inflasi Perlambat Pemulihan Perekonomian Dalam Negeri

Terdapat faktor eksternal. Umumnya, inflasi daerah dipicu akibat kurangnya ketersediaan stok pangan. Perlu memperkuat kerja sama antar daerah.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 3 Menit
Ilustrasi
Ilustrasi

Ancaman tingginya inflasi dalam negeri mendapat perhatian serius dari banyak kalangan. Berbagai kebijakan pun perlu diterbitkan dari pemerintah. Karenanya, Presiden Joko Widodo mengingatkan agar pemerintah daerah tak perlu ragu menggunakan belanja tak terduga dan dana transfer umum Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (APBD) dalam mencegah meningkatnya inflasi.

Pasalnya, pemerintah melalui Menteri Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 134/PMK.07/2022 tentang Belanja Wajib dalam Rangka Penanganan Dampak Inflasi Tahun Anggaran 2022. Begitu pula dengan Menteri Dalam Negerii (Mendagri) menerbitkan Surat Edaran (SE) Menteri Dalam Negeri Nomor 500/4825/SJ tentang Penggunaan Belanja Tidak Terduga Dalam Rangka Pengendalian Inflasi Daerah.

“Saya juga sudah sampaikan ke Kejaksaan Agung dan KPK untuk hal ini, karena sekarang sangat membutuhkan,” ujarnya dalam pengarahan kepada Menteri/Kepala Lembaga, Kepala Daerah, Pangdam, dan Kapolda di Jakarta, Kamis (29/9/2022).

Dia menilai upaya pemerintah dalam mengendalikan inflasi bakal dibantu dengan bauran kebijakan dari Bank Indonesia. Meski begitu, Kementerian Keuangan dan BI mampu menerapkan kebijakan yang sinergis hingga dapat memperkuat langkah dalam pengendalian inflasi dalam negeri.

Terpisah, ekonom Bank Mandiri Faisal Rahman berpendapat inflasi di periode 2022 bakal mencapai angka 6,27 persen. Baginya, angka tersebut jauh dari prediksi pemerintah yang menargetkan iinflasi di bawah 5 persen. Tapi sayangnya, BI malah diprediksi bakal terus menaikan suku bunga acuan mendapai angka 5 persen di penghujung 2022.

Lantas apa penyebabnya? Menurutnya, penyebabnya soal tekanan eksternal yang berkelanjutan dan lebih agresif di banyak bank sentral di negara-negara besar dalam menaikkan suku bunganya. Ujungnya terjadi risk off sentiment pada negara sedang berkembang termasuk Indonesia (capital outflow).

“Selain itu, fear of global recession juga menaikkan risiko turunnya surplus neraca dagang akibat turunnya permintaan dan turunnya harga komoditas. Kedua hal tersebut memberikan tekanan pada nilai tukar rupiah,” imbuhnya.

Tags:

Berita Terkait