Tingginya Risiko Kejahatan Money Laundering Saat Pandemi Covid-19
Berita

Tingginya Risiko Kejahatan Money Laundering Saat Pandemi Covid-19

Pelaku mengambil keuntungan saat pandemi untuk melakukan financial fraud dan penipuan, termasuk menjual obat-obatan palsu, menawarkan peluang investasi bodong, dan terlibat dalam penipuan digital (phising) yang menimbulkan ketakutan yang berlebihan.

Oleh:
Mochammad Januar Rizki
Bacaan 2 Menit
Ilustrasi: HOL
Ilustrasi: HOL

Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) menemukan laporan transaksi keuangan mencurigakan (LKTM) meningkat saat pandemi Covid-19. Laporan tersebut mengenai berbagai kejahatan seperti korupsi, penipuan, perjudian online, tindak pidana perpajakan dan pasar modal yang pelakunya memanfaatkan kondisi pandemi untuk melakukan aksi pidana tersebut. Sehingga, perbankan sebagai lalu lintas keuangan diminta meningkatkan pengawasan untuk mengantisipasi tindak pidana pencucian uang dan pendanaan terorisme (TPPU-PT).

Kepala PPATK Dian Ediana Rae menjelaskan peningkatan laporan tersebut menandakan risiko TPPU-PT juga bertambah. Dian mengajak seluruh pihak termasuk komisaris dan direksi perbankan untuk selalu memperkuat sinergi dalam pencegahan dan pemberantasan TPPU-PT. Perbankan sebagai salah satu Pihak Pelapor kepada PPATK, merupakan mitra strategis bagi PPATK dalam melaksanakan tugas dalam mencegah dan memberantas TPPU-PT.

"Pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT di Indonesia dibangun berdasarkan suatu sistem atau rezim pencegahan dan pemberantasan TPPU dan TPPT, masing-masing terdiri dari sub-sistem lembaga intelijen keuangan (PPATK), Pihak Pelapor, Lembaga Pengatur dan Pengawas seperti OJK dan Bank Indonesia, serta aparat penegak hukum. Seluruh sub-sistem tersebut harus bersinegi untuk menghasilkan langkah pencegahan dan pemberantasan TPPU-PT yang efektif," jelas Dian, Kamis (20/8).

Dia juga menekankan untuk selalu waspada dengan sensitif dengan dinamika kejahatan ekonomi, khususnya TPPU-PT. Menurutnya, pelaku kejahatan ekonomi selalu berfikir untuk mencari celah dengan berbagai strategi dalam melancarkan kejahatannya. “Pelaku pencucian uang adalah orang yang sangat inovatif dan dinamis. Para pencuci uang ini juga diduga dibantu Professional Money Launderer (PML) yang berasal dari berbagai keakhlian. Mereka berperan membantu aksi para pelaku tindak pidana seperti korupsi, narkotika, maupun tindak pidana ekonomi lainnya yang tidak ingin terditeksi dalam proses pencucian uang hasil tindak pidana tersebut,” kata Dian.

Pencegahan TPPU-PT melalui perbankan berdampak signifikan terhadap penegakan rezim dan pemberantasan kejahatan tersebut, sebab Dian mengatakan perbankan merupakan garda terdepan dalam pemberantasan kejahatan TPPU-PT. Dia meminta perbankan menjaga integritas sistem keuangan dan harus menjadi prioritas direksi dan komisaris bank. (Baca: Gandeng PPATK Kawal Dana Kampanye, Sanksi Diskualifikasi Menanti Paslon yang Melanggar)

Sorotan FATF

Risiko peningkatan TPPU-PT saat pandemi Covid-19 juga menjadi sorotan badan standar internasional Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme (APU-PPT), Financial Action Task Force (FATF). FATF mendorong pemerintah seluruh negara anggota dan negara negara yang tergabung di dalam FSRB (FATF Style Regional Body) untuk bekerja sama dengan Penyedia Jasa Keuangan (PJK) dan/atau aktifitas bisnis lainnya untuk menggunakan fleksibilitas yang dibangun ke dalam pendekatan pengawasan berbasis risiko dalam rangka mengatasi tantangan yang ditimbulkan oleh Covid-19 dan tetap waspada terhadap munculnya risiko keuangan baru dan yang telah ada.

FATF mendukung penerapan proses digital customer on boarding dan saluran distribusi berbasis digital secara penuh dalam mendukung himbauan/kewajiban untuk melakukan pembatasan sosial. Selanjutnya, dalam hal terdapat aktifitas bantuan domestik dan internasional, agar tetap menerapkan standar FATF yang efektif dalam mendorong adanya transparansi yang lebih besar dalam transaksi keuangan. Hal tersebut akan memberikan kepercayaan yang besar kepada para donor bahwa bantuan yang diberikan telah diterima para pihak yang membutuhkan sebagaimana mestinya.

“Dengan demikian, penerapan Standar FATF yang berkelanjutan dapat memfasilitasi terciptanya integritas dan keamanan sistem pembayaran, baik pada saat terjadinya kondisi pandemi dan setelahnya yang dilakukan melalui uji tuntas berbasis risiko,” jelas FATF dalam keterangan resminya yang dipublikasi OJK. (Baca: PPATK Gandeng Kemenkop Cegah Koperasi Jadi Sarana Kejahatan)

FATF menyatakan pelaku kejahatan dapat mengambil keuntungan atas terjadinya pandemi Covid-19 untuk melakukan financial fraud dan penipuan, termasuk menjual obat-obatan palsu, menawarkan peluang investasi bodong, dan terlibat dalam phishing yang menimbulkan ketakutan yang berlebihan. Kejahatan dan penipuan secara virtual, penggalangan dana palsu, dan berbagai penipuan alat dan sarana kesehatan, pelaku yang mengambil keuntungan dengan mengeksploitasi pihak yang membutuhkan perawatan dan pihak yang mempunyai niat baik untuk membantu sesama, serta menyebarkan informasi yang tidak benar tentang pandemi.

Otoritas nasional dan lembaga internasional wajib memperingatkan masyarakat dan pelaku usaha atas adanya kecenderungan dan kemungkinan kegiatan penipuan ini. Disamping itu, para teroris juga dapat memanfaatkan keadaan ini untuk mengumpulkan dana melalui berbagai cara termasuk penggalangan dana yang disalahgunakan. Oleh karena itu, Lembaga Pengawas dan Pengatur, Financial Intelligence Units (FIU), dan aparat penegak hukum harus terus memberikan informasi kepada sektor swasta untuk tetap memprioritaskan dan menanggulangi timbulnya risiko utama TPPU terutama penipuan, dan risiko Tindak Pidana Pendanaan Terorisme (TPPT) yang berkaitan dengan Covid-19.

Selain itu, pelaku kejahatan dan teroris dapat berupaya untuk mengeksploitasi kesenjangan dan kelemahan dalam penerapan program APU PPT masing-masing negara, mengingat seluruh sumber daya difokuskan untuk pandemi yang prioritas sehingga dibutuhkan upaya peningkatan pengawasan dan penegakan hukum berbasis risiko. PJK dan pelaku bisnis lain harus meningkatkan kewaspadaan terhadap timbulnya risiko TPPU dan TPPT dan memastikan upaya yang efektif dalam memitigasi risiko tersebut dan mampu mendeteksi serta melaporkan kegiatan yang mencurigakan termasuk transaksi keuangan mencurigakan.

FATF menyatakan dengan kebijakan social atau physical distancing yang diterapkan di seluruh dunia secara ketat, maka akses terhadap layanan perbankan dan layanan keuangan lainnya menjadi lebih sulit. Penggunaan layanan transaksi berbasis digital sangat memungkinkan untuk mengurangi risiko penyebaran virus. Dengan demikian, penggunaan teknologi keuangan (fintech) memberikan peluang signifikan untuk mengelola permasalahan yang ditimbulkan Covid-19.

Sesuai rekomendasi FATF yang mendorong penggunaan teknologi termasuk Fintech, Regtech, dan Suptech secara maksimal, maka FATF telah mengeluarkan dokumen Guidance on Digital ID, yang menunjukkan manfaat Digital ID untuk meningkatkan keamanan, kerahasian, dan kemudahan dalam mengidentifikasi nasabah dari jarak jauh, baik untuk kepentingan customer on-boarding, menjalankan transaksi keuangan sermemitigasi risiko TPPU dan TPPT. FATF menghimbau negara-negara untuk mengupayakan penggunaan Digital ID dalam menjalankan transaksi keuangan dan mengelola risiko TPPU dan TPPT selama terjadinya krisis dunia yang diakibatkan pandemi Covid 19.

Pada saat PJK dan pelaku usaha mengidentifikasi risiko dengan hasil yang rendah, maka standar FATF memungkinkan untuk mengambil tindakan uji tuntas nasabah atau customer due diligence (CDD) Sederhana yang dapat membantu PJK dan pelaku usaha dalam beradaptasi dengan situasi saat ini. Dengan demikian, FATF mendorong negara dan PJK untuk mengeksplorasi penggunaan CDD Sederhana yang tepat dalam memfasilitasi bantuan Pemerintah dalam menanggapi pandemi ini.

Selain itu, darurat kesehatan masyarakat telah menyoroti lembaga amal dan organisasi nirlaba (NPO) dalam memerangi Covid-19 dan dampak yang ditimbulkannya. FATF telah mengakui pentingnya NPO dalam menyediakan bantuan amal yang penting di seluruh dunia. FATF telah bekerja sama dengan NPO selama bertahun-tahun untuk menyempurnakan Standar FATF dalam memberikan fleksibilitas guna memastikan bahwa sumbangan dan kegiatan amal berjalan cepat melalui saluran yang tidak melanggar hukum, transparan dan tanpa gangguan. Standar FATF tidak dimaksudkan bahwa seluruh risiko TPPU/TPPT NPO dinilai tinggi. Namun lebih untuk memastikan bahwa transaksi NPO dilakukan melalui saluran yang tidak melanggar hukum (sah), transparan dan dana yang diberikan telah sampai kepada penerima yang dituju.

Otoritas nasional dan lembaga keuangan wajib menerapkan pendekatan berbasis risiko untuk memastikan aktivitas NPO yang ada adalah yang tidak melanggar hukum dan perundang-undangan yang berlaku, serta mendorong negara-negara hanya bekerja sama dengan NPO yang jelas dan tidak melanggar hukum dalam memastikan bantuan yang dibutuhkan tersebut telah diberikan kepada penerima yang dituju secara transparan.

FATF juga menyarankan Lembaga Pengawas dan Pengatur, Federal Intelligence Unit, dan aparat penegak hukum serta lembaga terkait lainnya dapat memberikan dukungan, arahan, dan bantuan kepada sektor swasta mengenai bagaimana ketentuan dan peraturan program APU PPT diterapkan pada saat krisis. Arahan tersebut dapat memberi jaminan kepada PJK dan pelaku bisnis lainnya bahwa pihak berwenang menshare pemahaman terkait tantangan dan risiko yang dihadapi dan tindak lanjut yang perlu dilakukan. Pihak berwenang di beberapa negara telah mengambil tindakan cepat dan memberikan arahan antara lain mekanisme dimana korban, PJK, dan pelaku bisnis lainnya dapat melaporkan kecurangan terkait Covid-19.

Di tingkat internasional, FATF bekerja dengan Committee on Payment and Market Infrastructures dan World Bank untuk membantu memastikan tanggapan atas kebijakan yang terkoordinasi dalam penyediaan layanan pembayaran dalam kondisi kritis atas terjadinya krisis Covid-19. FATF, Intenational Monetary Fund (IMF), World Bank, dan United Nation (PBB) berkoordinasi untuk mengurangi dampak krisis Covid-19, termasuk melalui bagaimana penerapan program APU PPT yang sesuai. Selain itu, FATF bekerja dengan para anggotanya dan FATF-Style Regional Bodies (FSRB) untuk mengidentifikasi dan berbagi praktik dalam menanggapi masalah yang dihadapi negara-negara yang terkena dampak krisis pandemi ini.

FATF juga mempersiapkan pedoman program APU PPT lebih lanjut untuk mendukung dunia yang sedang berupaya menanggulangi krisis dan dampak Covid-19. FATF mengharapkan Penyelenggara Jasa Keuangan mengambil langkah dan tindakan yang memadai dalam mendorong upaya pengurangan penyebaran virus Covid-19, serta menanggulangi krisis dan dampak pandemi tersebut dengan tetap mempertimbangkan ketentuan dan peraturan yang berlaku. PJK agar meningkatkan kewaspadaan atas timbulnya risiko TPPU dan TPPT yang baru dan yang terjadi dari kondisi pandemi Covid-19 ini.

Tags:

Berita Terkait