Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU
Utama

Titik Lemah Partisipasi Publik dalam Proses Pembentukan UU

Karena konstitusi tak mengatur secara jelas soal peran serta masyarakat dalam proses pembentukan UU. Akibatnya, peraturan yang ada tidak bisa menjamin efektivitas hasil peran serta masyarakat dalam proses pembentukan UU yang berkualitas. MK semestinya melengkapi keterbatasan norma konstitusi yang ada dalam hal peran serta masyarakat dalam pembentukan UU.

Oleh:
Rofiq Hidayat
Bacaan 5 Menit

Sejak era reformasi 1999, terdapat 3 pedoman pembuatan UU yakni Keppres No.44 Tahun 1999 tentang Teknik Penyusunan Peraturan Perundangan dan Bentuk RUU, Raperda, dan Rancangan Keputusan Presiden. Kemudian UU No.10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan, dan UU 12/2011 sebagaimana telah diperbaharui UU 15/2019. Dia mengakui ada perkembangan yang lebih baik sistem hukum dan peraturan perundangan-undangan Indonesia.

Dalam UU 10/2004 mulai dibuat pengaturan partisipasi masyarakat dalam pembuatan UU. Meskipun pengaturannya hanya pada Pasal 53 secara sederhana. Setidaknya adanya pengaturan partisipasi masyarakat menjadi bentuk yang lebih baik. “Jadi UU 10/2004 menjadi dasar kita saat itu punya naskah akademik yang ada partisipasi masyarakat serta adan hierarki peraturan perundang-perundangan,” ujarnya.

Titik lemah partisipasi publik

Charles yang juga peneliti Pusat Studi Konstitusi (PuSaKO) menilai terdapat kelemahan praktik partisipasi publik dalam proses pembuatan UU. Pertama, masyarakat tidak dapat memastikan masukan atau sarannya diakomodir pembuat UU. Kedua, belum adanya parameter kualitatif dan kuantitatif yang menjadi indikator pembentuk UU telah partisipatif dari aspek jumlah maupun waktu pembahasan.

Menurutnya, paremeter kualitatif seperti berapa banyak organisasi buruh, misalnya, yang perlu diundang dalam proses menyerap masukan dalam pembuatan UU terkait bidang ketenagakerjaan. “Hal ini tak ada parameternya. Akibatnya, bentuk partisipasi semau-maunya anggota dewan. Ini akan berbahaya,” lanjutnya.

Ketiga, partisipasi seringkali tidak representatif yang memunculkan partisipasi semu. Keempat, partisipasi masyarakat tidak mengikat, sehingga sulit dijadikan dasar alasan dalam pengujian UU di MK. Kelima, informasi publik sebagai kunci partisipasi seringkali dipertanyakan validitas dan terjadi disharmoni. Terhadap hal itu, pengadilan menjadi ajang dialog konstitusional antara pembentuk UU dengan masyarakat dalam perwujudan partisipasi demokratis yang tak boleh dikungkung dengan keterbatasan norma yang ada.

Baginya, MK semestinya mampu melengkapi keterbatasan norma konstitusi yang ada dalam hal peran serta masyarakat (partisipasi publik). Seperti kuantitatif dan kualitatif, sehingga dapat menilai dan menentukan kadar partisipasi masyarakat dalam pembentukan UU. MK pun dapat memberi ruang constitutional complaint terhadap pembentuk UU yang tidak partisipatif serta membuka ruang selebar-lebarnya bagi warga sebagai pemohon.

Hakim Konstitusi Prof Saldi Isra enggan berkomentar soal partisipasi publik dalam proses pembentukan UU. Sebab, partisipasi publik sedang menjadi objbek pengujian di MK. Secara etik, hakim MK dilarang membicarakan sesuatu terkait dengan kasus-kasus yang sedang diuji di MK. Sebab, dalam banyak hal, sebelumnya hakim MK malah mengomentari putusan yang telah dibuat MK.

“Saya mohon maaf, saya tidak bisa masuk ke wilayah itu, karena partisipasi publik menjadi objek pengujian di MK,” ujarnya.

Guru Besar Hukum Tata Negara Universitas Andalas itu mengatakan dirinya harus membatasi diri  secara ketat tak membahas hal yang sedang menjadi objek pengujian di MK. Dia tak ingin terperosok ke dalam pelanggaran etik lantaran komentarnya terhadap objek yang sedang diuji di MK.  Namun demikian, dia bersepakat agar ada perbaikan dalam proses pembentukan perundang-undangan di parlemen.

“Kita jangan pernah berhenti memperbaiki manajemen pembentukan UU di DPR,” katanya.

Tags:

Berita Terkait