Presiden Kongres Adokat Indonesia (KAI), Tjoetjoe Sandjaja Hernanto (TSH) mengimbau agar direksi BUMN berhati-hati saat bertindak, dalam kaitannya dengan penyelenggaraan usaha. Hal tersebut ia sampaikan dalam talkshow bertema 'BUMN untuk Siapa' yang diselenggarakan oleh Federasi Serikat Pekerja Sinergi (FSP) BUMN pada Kamis (28/10) di Hotel Aryaduta Palembang, Kota Palembang, Sumatera Selatan.
Menurutnya, harus dipastikan praktik penyelenggaraan berdasarkan UU No. 19 Tahun 2003 tentang BUMN atau UU No. 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas. Pasalnya, keduanya menentukan penyelenggaraan keuangan BUMN: sudah sesuai prosedur administratif, atau justru melanggar?
Adapun terdapat beberapa situasi dilematis yang harus diperhatikan. Pada tataran keuangan negara misalnya, TSH menjelaskan ada potensi terjerat Tipikor, jika BUMN merugi. Namun, hal ini bukan masalah, mengingat secara administratif, prosedur yang dilewati BUMN sudah benar. “Lebih baik BUMN bangkrut yang penting Anda tidak melanggar aturan, daripada untung tapi ada aturan yang terlanggar,” katanya.
Direksi Bermain Aman
TSH menilai, ‘risiko Tipikor’ tersebut pada akhirnya membentuk ‘siklus’ para direksi BUMN bermain aman. Inilah yang menjadikan BUMN kalah agresif, jika dibandingkan dengan swasta yang tak memiliki risiko serupa, ketika terjadi malaadministrasi.
“Akhirnya BUMN tidak kompetitif dan banyak yang nyaris bangkrut. Pemerintah pun inject modal lagi, dan direksi bermain aman lagi. Di sisi lain, direksi juga bekerja di bawah tekanan dan belenggu—termasuk politik—sehingga gerakannya terbatas. Celakanya, direksi sudah membuat administrative prochedure, dianggap rekayasa. Membuat kajian bisnis, dianggap rekayasa. Menggandeng pihak ketiga untuk menyediakan modal usaha, dinilai akal-akalan untuk mencari keuntungan pribadi,” ujar TSH.
TSH berharap, Menteri BUMN dapat menyusun rumusan yang sama dengan para penegak hukum lain sebagai acuan bagi para direksi. Beberapa yang dapat digarisbawahi, di antaranya (1) membuat kesepakatan tentang definisi BJR; (2) menyepakati bahwa pengertian modal BUMN adalah kekayaan negara yang telah dipisahkan; (3) menyamakan persepsi tentang pengertian release dan discharges dalam RUPS; serta (4) mempertegas batasan tentang aturan pengadaan dan penunjukkan. Di samping itu, harus ada forum penyelesaian atau mekanisme yang dapat mengukur tindakan direksi. Melalui forum tersebut, dapat ditentukan apakah tindakan yang diambil sudah sesuai kajian bisnis atau justru berujung pada kejahatan.
“Rekan-Rekan KSP harus berhati-hati ketika menyuarakan pendapat. Begitu pun kepada direksi, harus berhati-hati ketika menghadapi perbedaan pandangan dengan serikat pekerja, sebab tidak mustahil kondisi BUMN akan mengalami kehancuran ketika konflik antara direksi dan pekerja berkepanjangan. Buatlah sebuah forum atau mekanisme internal untuk menyelesaikan masalah yang terjadi di BUMN, sebelum menjadi konsumsi publik, bahkan penegak hukum,” TSH menambahkan.