Uji Materi UU Pengampunan Pajak, Konsekuensi Masyarakat Kritis
Berita

Uji Materi UU Pengampunan Pajak, Konsekuensi Masyarakat Kritis

Seharusnya pemerintah memanfaatkan secara optimal data dari PPATK terlebih dahulu untuk membujuk pengusaha yang ada di luar negeri agar mengembalikan hartanya ke Indonesia.

Oleh:
RFQ/KAR
Bacaan 2 Menit
Foto: YOZ
Foto: YOZ
Resmi sudah dua organisasi mendaftarkan permohonan uji materi terhadap UU Pengampunan Pajak yang baru saja disahkan DPR. Padahal, UU inisiatif pemerintah itu bakal segera diberlakukan pada 18 Juli mendatang. Adalah Yayasan Satu Keadilan (YSK) dan Serikat Perjuangan Rakyat Indonesia (SPRI).

Wakil Ketua DPR Fahri Hamzah mendukung langkah dua organisasi tersebut. Pasalnya, upaya hukum uji materi sebagai konsekuensi logis masyarakat yang cerdas dan sadar akan keberlangsungan kesejahteraan masyarakat. Terlebih, kesadaran itu tumbuh di era demokrasi yang menyatakan tak ada keputusan mutlak.

“Semua keputusan bisa digugat, harus sadar itu. Makanya, kalau bikin keputusan jangan ngaco,” ujarnya di komplek Gedung Parlemen, Jumat (15/7).

Dikatakan Fahri, terhadap UU Pengampunan Pajak memang mendapatkan kontra dari sejumlah pihak. Bahkan ada anggapan UU Pengampunan Pajak tidak memenuhi rasa keadilan terhadap mereka yang patuh membayar pajak. “Siap-siaplah pemerintah kalau ini digugat,” ujarnya.

Terkait adanya pandangan MK bakal menolak permohonan uji materi masyarakat, politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) itu meminta agar tidak melampaui lembaga konstitusi. Menurutnya, pihak eksekutif mesti tetap netral terhadap permohonan uji materi yang dilakukan kelompok masyarakat.

“Jangan melampaui pengadilan dong, seolah-olah eksekutif mengontrol semua hal itu yang saya ngeri,” ujar anggota dewan dapil NTB itu.

Manfaatkan data PPATK
Pakar komunikasi publik Emrus Sihombing berpendapat, sebelum menerapkan UU Pengampunan Pajak, pemerintah seharusnya memanfaatkan secara optimal data dari Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Data tersebut diyakini bisa dijadikan alat untuk membujuk pengusaha yang ada di luar negeri untuk mengembalikan hartanya ke Indonesia.

Sayangnya, Emrus melihat pemerintah tak melakukan pemanfaatan data PPATK itu. Bahkan, ia menilai pemerintah terburu-buru dalam menerapkan UU Pengampunan Pajak. Terlebih, berkaitan dengan upaya untuk mengalihkan dana Indonesia yang berada di luar negeri untuk kembali ke dalam negeri.

“Namun, upaya ini terkesan tidak dilakukan. Kenapa tidak dibongkar dulu orang yang bermasalah. Toh data di PPATK ada," kata Emrus.

Emrus mengatakan, upaya pemanfaatan data PPATK sesungguhnya bisa maksimal. Menurut perhitungannya, apabila upaya ini dilakukan maka potensi dana yang diperoleh Indonesia dapat lebih besar dari jumlah yang ditetapkan oleh pemerintah. Sebagaimana diketahui, pemerintah mematok angka Rp165 triliun sebagai target pencapaian pendapatan dari kebijakan pengampunan pajak.

“Kebijakan ini amat disayangkan karena tidak dilakukan. Padahal, transaksi keuangan di sana bisa diidentifikasi. Secara internal, di pemerintahan dengan PPATK bisa bekerja sama. Sehingga pajak yang tidak dibayar dan ada datanya di PPATK ditarik dulu. Jadi menurut saya jadi meringankan," tambahnya.

Selain itu, Emrus menyayangkan kebijakan Kementerian Keuangan yang telah menetapkan bahwa dana repatriasi pengampunan pajak hanya akan ditahan selama tiga tahun di Indonesia. Keputusan itu didasari oleh alasan agar tidak ada dana yang kembali ke luar negeri sehingga dapat digunakan sebagai investasi untuk membangun infrastruktur. Namun, menurut Emrus, tenggang waktu tiga tahun yang ditetapkan itu patut dipertanyakan.

Ia menduga pemilihan waktu tiga tahun ini ditetapkan sesuai masa jabatan Presiden Joko Widodo. Padahal, seharusnya pemerintah menahan aliran dana repatriasi untuk berada di Indonesia selama lima tahun. Sebab, butuh waktu yang sangat panjang untuk membangun infrastruktur di berbagai daerah.

Dia mengingatkan, tujuan utama UU ini adalah menggenjot penerimaan negara dari sisi perpajakan. Emrus menilai pemerintahover confidence sekali jika UU Pengampunan Pajak ini tidak ada yang gugat. Ia berharap, pemerintah pun menyiapkan kebijakan yang mengantisipasi jika UU tersebut dibatalkan oleh MK.

"Pemerintahan Jokowi juga tiga tahun lagi habis relatif pas kan. Dalam tiga tahun apa sih yang bisa dirasakan. Harusnya minimal lima tahun sehingga uang itu bisa berputar di Indonesia," katanya.

Komite Tetap Perpajakan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) Indonesia, Herman Juwono, mengatakan kebijakan pengampunan pajak harus diletakkan dalam kerangka jangka panjang. Dia yakin bahwa kebijakan ini mampu membawa wajib pajak yang tidak patuh menjadi patuh. Syaratnya, diimplementasikan secara optimal.

Menurut Herman, saat ini Indonesia memerlukan kebijakan pengampunan pajak. Sebab, ia tak memungkiri bahwa sebagian besar wajib pajak masih tidak patuh. Hal ini menurutnya, dapat disimpulkan dari data terkait angka pemasukkan SPT yang tiap tahunnya makin rendah.

“Data menyebut bahwa orang-orang kaya Indonesia secara individu menyimpan AS$150 miliar atau sekitar Rp1.500 triliun di bank-bank Singapura. Angka itu belum termasuk uang perusahaan yang mencapai AS$150 miliar atau secara total mencapai Rp3 ribu triliun. Artinya, ini sama dengan total dana pihak ketiga (DPK) perbankan Indonesia,” tuturnya.

Lebih lanjut Herman mengatakan, dunia usaha mengapresiasi kebijakan pengampunan pajak ini.  Namun, ia menambahkan pelaku usaha juga berharap kebijakan tersebut mempunyai tujuan yang baik, bukan merupakan perangkap. Artinya, benar-benar untuk meningkatkan pendapatan negara.

Selain itu, Herman mengingatkan bahwa tahun depan Indonesia akan mulai memaski era implementasi Automatic Exchange of Information (AEOI). Di tengah era keterbukaan informasi perpajakan itu, dunia usaha meminta pemerintah menjamin kepastian hukum dalam pelaksanaan pengampunan pajak. Ia mendesak pemerintah agar menjaga kerahasiaan data yang diserahkan oleh wajib pajak.  "Jangan sampai informasi tersebar luas," tuturnya.

Tags:

Berita Terkait