Upaya Memperjelas Koperasi dalam Proses Kepailitan dan PKPU
RUU Kepailitan dan PKPU

Upaya Memperjelas Koperasi dalam Proses Kepailitan dan PKPU

Karena proses kepailitan dan PKPU dalam lingkup koperasi dinilai rancu. Untuk itu, diharapkan RUU Kepailitan dan PKPU segera dibahas karena memiliki sejumlah persoalan krusial, terutama mengenai syarat kepailitan dan subjek yang berhak mengajukan proses kepailitan dan PKPU.

Oleh:
CR-27
Bacaan 3 Menit
Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Cahyani Suryandari saat paparan dalam diskusi daring, Jumat (21/1/2022) lalu. Foto: CR-27
Direktur Perancangan Peraturan Perundang-undangan Kemenkumham, Cahyani Suryandari saat paparan dalam diskusi daring, Jumat (21/1/2022) lalu. Foto: CR-27

Adanya pandemi yang terus terjadi hingga hari ini, terbukti memberikan dampak buruk terhadap pelaku usaha, tak terkecuali sektor koperasi dan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Menurut data Satuan Tugas (Satgas) Koperasi Bermasalah pada tahun 2020 dan 2021 ada sebanyak 38 koperasi (simpan pinjam) diajukan permohonan pailit dan PKPU ke Pengadilan Niaga. Rinciannya, 20 kasus di Jakarta; 7 kasus di Surabaya; 10 kasus di Semarang; 1 kasus di Medan.  

“Ini pertama kali dalam sejarah Indonesia, karena tidak pernah terjadi sebelumnya pengajuan permohonan pailit melebihi 22 pengajuan permohonan terhadap koperasi. Kebanyakan permohonan itu diajukan oleh anggota koperasi itu sendiri,” ujar Wakil Ketua Satgas Koperasi Bermasalah, Yudhi Wibhisana dalam sebuah diskusi daring, Jum'at (21/1/2022) lalu, 

Meski tidak ada aturan yang memperbolehkan atau melarang anggota koperasi mengajukan permohonan kepailitan, anggota koperasi seharusnya mengedepankan rasa memiliki terhadap koperasi mereka masing-masing. Namun, banyak anggota koperasi yang seolah merasa seperti nasabah yang mempunyai rekening simpanan di bank.

"Menjadi anggota koperasi hanya fokus menyimpan dan memperoleh bunga. Padahal jiwa dari koperasi itu sendiri adalah (didasari prinsip, red) kekeluargaan. Ini perlu pengaturan serius mengenai koperasi agar tidak mudah dimohonkan pailit oleh anggotanya," harapnya. 

Sesuai UU No.37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (PKPU) mengatur tentang penyelesaian hukum antara kreditur dengan debitur dalam hal jika terjadi sengketa, khususnya mengenai kewajiban utang piutang. "UU tersebut menyasar seluruh subjek hukum dari perseorangan, badan hukum (korporasi) ataupun bukan badan hukum termasuk di dalamnya badan hukum koperasi," katanya.  

Staf Biro Hukum Kementerian Koperasi dan UKM, Rasyid menilai dari sudut pandang UU Kepailitan dan PKPU pengaturan koperasi sudah sesuai dengan ketentuan. Namun jika dilihat dari sudut pandang UU Perkoperasian hal itu akan menjadi rancu. “Sesuai Pasal 2 UU No.37 Tahun 2004 disebutkan debitur yang memiliki dua atau lebih kreditur dan tidak membayar lunas sedikitnya satu utang yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih dinyatakan pailit,” terang Rasyid,

Baca Juga: Babak Baru Polemik UU Kepailitan dan PKPU)

Menurutnya, hal tersebut sulit ditetapkan dalam entitas badan hukum koperasi dimana satu atau dua anggota selaku kreditur dapat meminta permohonan pailit pada koperasi yang notabene adalah anggota koperasi sendiri sebagai pemiliknya. Dalam kurun waktu 2020-2021, ada 38 koperasi yang dimohonkan pailit, mayoritas permohonan kepailitan diajukan oleh anggota koperasinya.

Tags:

Berita Terkait