Urgensi Kriminalisasi Perdagangan Pengaruh dalam Pembaharuan Hukum Pidana
Kolom

Urgensi Kriminalisasi Perdagangan Pengaruh dalam Pembaharuan Hukum Pidana

​​​​​​​Perdagangan pengaruh (trading in influence) dapat dilakukan baik secara aktif maupun pasif.

Bacaan 2 Menit

 

Dalam trading in influence, diperlukan minimal dua orang pelaku dari sisi pengambil kebijakan, yaitu pejabat publik/ penyelenggara negara selaku pemilik otoritas yang dipengaruhi dan orang yang menjual pengaruhnya (yang tidak harus pejabat publik/penyelenggara negara) serta tentu saja pihak berkepentingan yang menginginkan keuntungan dari pejabat publik/penyelenggara negara selaku pemilik otoritas yang dipengaruhi.

 

ementara itu, unsur undue advantage (keuntungan yang tidak seharusnya) dalam rumusan trading in influence dapat diartikan sebagai keuntungan dalam arti luas yang dapat berupa keuntungan yang dapat dinilai dengan uang atau keuntungan lain seperti misalnya jabatan atau kedudukan tertentu.

 

Selain dalam UNCAC, larangan trading in influence juga dapat ditemukan dalam Council of Europe’s Criminal Convention on Corruption (CoE Convention) dan Convention on Combating Bribery of Foreign Public Officials in Business Transaction 1997 dari Organization For Economic Cooperation and Development (OECD). Beberapa negara yang juga telah mengatur larangan trading in influence dalam hukum pidananya diantaranya adalah Prancis, Spanyol dan Belgia.

 

Kasus suap Walikota Cimahi, LHI dan IG memiliki kesamaan di mana ketiga kasus ini menunjukkan adanya pihak-pihak yang melakukan perdagangan pengaruh. Dalam kasus suap Walikota Cimahi, Terdakwa II Itoc Tochija melakukan perdagangan pengaruh dengan cara berperan sangat aktif dalam menawarkan proyek-proyek dan melakukan pertemuan dengan pihak-pihak yang berkepentingan memenangkan proyek karena Terdakwa II pernah menjabat sebagai Walikota Cimahi selama 2 periode sebelum Terdakwa I.

 

Menarik bahwa peran Terdakwa II sebagai pelaku penyerta dalam kasus ini tampak lebih dominan dari Terdakwa I sebagai pelaku material yang memenuhi kualifikasi sebagai pegawai negeri/penyelenggara negara dan memiliki otoritas untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu dalam jabatannya yang bertentangan dengan kewajibannya.

 

Sementara itu dalam kasus LHI, LHI memperdagangkan pengaruhnya dalam kedudukannya sebagai presiden partai untuk mempengaruhi Menteri Pertanian yang merupakan bawahannya dalam partai tersebut untuk menambah kuota impor daging sapi bagi PT. Indoguna Utama.

 

Dalam kasus IG, IG memperdagangkan pengaruhnya dalam kedudukannya sebagai ketua DPD untuk mempengaruhi keputusan Badan Urusan Logistik (Bulog) terkait jatah impor gula untuk daerah Sumatera Barat. Serupa dengan kasus suap Walikota Cimahi, baik LHI maupun IG sesungguhnya tidak memiliki kewenangan terkait penentuan kuota impor daging sapi dan gula, namun karena pengaruh yang mereka miliki, mereka dapat mempengaruhi pejabat terkait yang berwenang untuk membuat kebijakan yang menguntungkan pihak-pihak yang berkepentingan.

Halaman Selanjutnya:
Tags:

Berita Terkait