Pada urutan ketiga adalah memperkuat Komisi Pemberantasan Korupsi dengan jumlah 28 netijen yang menjawab. Sedangkan di urutan keempat, sebanyak 25 netijen menjawab tidak tahu. Lalu, terdapat 19 netijen menjawab perlu ada kewenangan khusus bagi TPK.
Urutan keenam, adalah memperbaiki Kebijakan Hukum dengan jumlah 13 netijen. Urutan ketujuh adalah perbaiki dan pertegas sistem penyelidikan dengan jumlah 13 netijen yang menjawab. Urutan kedelapan, pemberian sanksi tegas kepada para koruptor seperti hukuman mati dan lain-lain dengan total 9 netijen menjawab hal ini.
Kemudian, jawaban menyita aset koruptor sebanyak 8 netijen. Urutan kesepuluh adalah memperkuat intelijen dengan total 7 netijen menjawab ini. Lalu, memperbaiki kebijakan dan kondisi ekonomi sebanyak 2 netijen yang menjawab. Dan terakhir, memperkuat Kejaksaan dan Kepolisian masing-masing 1 netijen yang menjawab pada kelompok ini.
Sementara itu, Pakar Hukum Pidana Universitas Indonesia Prof. Topo Santoso menilai, rencana pembentukan kembali TPK oleh Pemerintah perlu diiringi dengan evaluasi mendalam terhadap kinerja dan efektivitas TPK sebelumnya. Hal ini penting mengingat, pembentukan TPK ke depan dapat belajar dari kekurangan maupun kelebihan TPK yang pernah dibentuk sebelumnya.
“Sepanjang ada dasar hukum yang kuat, ada evaluasi dari TPK sebelumnya, tidak tumpang tindih dengan lembaga atau tim lainnya, ada analisis cost and benefitnya, ada kontrol dan pertanggungjawabannya ya boleh-boleh aja dibentuk,” kata Topo kepada Hukumonline, Rabu (28/7). (Baca: Rekam Jejak Tim Pemburu Koruptor yang Akan Dihidupkan Menkopolhukam)
Setelah dibentuk, lanjut Topo, TPK juga perlu dievaluasi secara berkala sehingga perbaikan dapat dilakukan secepatnya. Menurutnya ada beberapa hal yang perlu masuk dalam evaluasi berkala ini, yakni antara target dengan capaian TPK, apakah pembentukan TPK menimbulkan persoalan baru dalam sistem peradilan pidana, apakah pembentukan TPK ini efisien secara cost and benefitnya dan apakah due process of law-nya terpenuhi atau tidak.