Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia
Kolom

Urgensi Penanganan Pengungsi dan Pencari Suaka di Indonesia

Perlu adanya kerangka hukum yang komprehensif dalam menangani pengungsi dan pencari suaka di Indonesia.

Bacaan 8 Menit

Kendati dari sisi jumlah tidak bisa dibilang banyak, namun keberadaan pengungsi dan pencari suaka di Indonesia tetap membingungkan. Karena minimnya acuan hukum yang kuat dan komprehensif untuk dapat dijadikan pedoman dalam mengelola mengatur dan melindungi keberadaan pengungsi di Indonesia.

Indonesia juga belum meratifikasi (state party) 1951 Convention Relating to the Status of Refugees berikut Protokol 1967-nya. Bahkan, di Asia Tenggara, baru Cambodia, Philippines dan Timor Leste yang sudah meratifikasi Konvensi tersebut beserta Protokol-nya. 

Sampai saat ini, instrumen hukum yang tersedia dan mengatur secara terbatas tentang pengungsi/pencari suaka adalah Perpres No. 125 Tahun 2016 tentang Penanganan Pengungsi Luar Negeri dan beberapa peraturan penunjang yang dikeluarkan Direktorat Jenderal Keimigrasian.

Bagi para pengungsi sendiri, tidak adanya regulasi yang kuat membuat mereka secara efektif berstatus sebagai terdampar atau terkatung-katung di Indonesia. Tidak ada mekanisme yang jelas untuk mengakhiri ketidakpastian status mereka. Untuk kembali ke negara asal (repatriasi) adalah tidak mungkin. Untuk mendapatkan pemukiman kembali ke negara ketiga (resettlement) adalah kecil peluangnya. Lalu untuk bertahan hidup selamanya di Indonesia (reintegration) adalah bukan pilihan yang baik juga. Mengingat Indonesia-pun bukan negara maju dan banyak rakyatnya yang masih berada di bawah garis kemiskinan.

Baca:

Praktik yang Terjadi

Di tengah ‘kekosongan hukum’ ini, praktik penanganan pengungsi di Indonesia terjadi secara bervariasi dan tidak memiliki pola yang sama. Misalnya apabila pengungsi/pencari suaka (boat people) masuk ke perairan Aceh atau Sumatera Utara. Ada kalanya mereka boleh masuk perairan Indonesia, dan ada kalanya diusir oleh aparat. Lalu, nelayan dan masyarakat setempat juga lazimnya akan menolong mereka untuk mendarat dan adakalanya aparat negara akan membiarkan mereka melakukannya. Tapi juga ada saat-saat aparat membatasi aktivitas tersebut.

Riset dari Maratul Fitria dan Heru Susetyo (2019) terhadap penampungan pengungsi di Medan dan Makassar, menunjukkan bahwa penanganan terhadap pengungsi juga berbeda-beda. Ada pengungsi yang tinggal di penampungan sementara (community house) dengan penjagaan ketat dan ada pula yang penjagaannya tidak ketat. Bahkan bebas keluar masuk. Di sekitar Tangerang Selatan dan Cisarua – Bogor bahkan pengungsi bebas tinggal di manapun tanpa kontrol aparat. Mereka juga tidak tinggal di shelter atau community house, melainkan tinggal di tengah-tengah masyarakat Indonesia dan bergaul bebas dengan masyarakat setempat.

Tags:

Berita Terkait